Diantara manakibnya, beliau adalah pamannya orang-orang yang beriman. Imam Ahmad menjelaskan dalam kitab as-Sunah, "Ada seorang penanya yang bertanya, "Aku mengatakan, "Mu'awiyah adalah pamannya orang-orang yang beriman, dan Ibnu Umar juga pamannya orang-orang yang beriman? Beliau menjawab, "Iya benar, Mu'awiyah adalah saudaranya umul mukminin Habibah binti Abi Sufyan istri Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau menyayangi keduanya. Adapun Ibnu Umar, beliau adalah saudaranya Hafsah istri Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau menyayangi keduanya".[1] Salah satu manakib yang dimilikinya, bahwa Umar radhiyallahu 'anhu menjadikan dirinya sebagai gubernur penduduk Syam. Dan Utsman radhiyallahu 'anhu, menyuruh dirinya untuk tetap menjadi gubernur selama dua puluh tahun, dan tidak dijumpai tentang adanya pengkhianatan atau ketidakmampuan dalam memimpin. Imam adz-Dzahabi mengatakan, "Cukup bagimu dengan kedudukan yang diberikan oleh Umar kemudian Utsman untuk memimpin Syam. Yang pada saat itu sebagai negeri perbatasan, dirinya mampu melaksanakan tugas dengan baik dan bekerja dengan penuh tanggung jawab, dicintai oleh rakyat dengan kedermawanan serta sikap bijaknya. Walaupun sebagian mereka ada yang merasa tidak suka pada sebagian perkara namun hal itu lumrah, kemudian dirinya menjadi seorang raja. Walaupun ada dari kalangan sahabat Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih baik dan lebih utama serta pantas darinya. Dan orang ini sangat tinggi martabatnya, memimpin dengan kecerdasannya, penuh bijaksana, serta lapang dada, teguh pendirian dan pemikiran, walaupun tidak diingkari ada padanya beberapa kejadian dan peristiwa dan Allahlah yang akan menghukumi. Beliau seorang yang dicintai oleh rakyatnya, menjadi gubernur Syam selama dua puluh tahun, lalu sebagai khalifah selama dua puluh tahun. Maka belum pernah ada yang berusaha memberontak pada masa kekuasaanya. Namun, justru umat-umat lain semakin bersatu. Sehingga dirinya mampu menghukumi bagi orang Arab atau non Arab, dirinya menguasai dua tanah suci, mesir, syam, iraq, khurasan, persia, jazirah, yaman, maroko dan negeri lainnya".[2] Salah satu manakibnya pula ialah termasuk raja terbaik yang pernah ada dalam sejarah Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, " Para ulama telah bersepakat bahwa Mu'awiyah adalah raja terbaik dari kalangan umat ini. adapun empat orang pendahulunya adalah khalifah pengganti nabi. Dan didalam kekuasaannya dipenuhi dengan kesabaran dan kedermawanan beliau. Sehingga kaum muslimin banyak mengambil manfaat darinya, yang mana hal ini tidak dijumpai pada raja-raja setelahnya yang mampu menandinginya". [3] Ibnu Abil Izzi al-Hanafi mengatakan, "Dan raja pertama dari kalangan kaum muslimin adalah Mu'awiyah dan beliau adalah raja terbaik dari raja-raja kaum muslimin".[4] Mu'awiyah adalah seorang cendekia Arab, dirinya terkenal dengan kata-kata hikmahnya, murah hati, muru'ah serta kebijakan yang tepat pada banyak perkara. Diantara kata mutiara beliau ialah perkataannya, "Muru'ah ada diempat perkara, ifah (menjaga diri) dalam Islam, menggunakan harta sebaik mungkin, menjaga hubungan persaudaraan, dan menjaga hubungan baik bersama tetangga". Beliau pernah juga pernah mengatakan, "Manusia terbaik ialah orang yang punya akal lagi bijak, yaitu orang yang bersyukur, bila mendapat musibah serta bersabar, dan jika marah tidak meluapkannya, bila mampu untuk membalas, dirinya mengampuni, dan bila berjanji menepati, dan jika ada yang menyakiti memintakan ampun padanya". Ada seseorang yang berkata pada Mu'awiyah, "Siapakan pemimpin terbaik bagi suatu kaum? Beliau menjawab, "Orang yang jiwanya paling dermawan jika diminta diantara mereka, paling bagus budi pekertinya pada dimajelis mereka, dan paling bijak terhadap mereka jika ada yang menyakitnya". Abu Ubaidah Ma'mar bin al-Matsani mengatakan, "Mu'awiyah bisa tergambar sosok pribadinya dalam bingkai bait syair ini: Orang pandir tidak mungkin mampu membunuh sang dermawan Kemurahan hatinya menusuk pada orang yang mencelanya Jangan tertipu walaupun dipenuhi dengan kebencian Dengan banyaknya celaan karena itu suatu bencana Jangan engkau putus persaudaraannya karena sebab satu dosa Sebab, dosa tersebut akan diampuni oleh Dzat yang Maha Penyayang Pada suatu ketika Mu'awiyah menulis kepada wakilnya Ziyad, "Sesungguhnya tidak layak bagi kita menghukumi semua orang dengan satu kebijakan, dengan lemah lembut mereka akan merasa senang, dan jangan dengan kekasaran karena akan menjadikan orang pada kebinasaan, namun, jadilah dirimu menjadi orang yang keras, kejam lagi kasar, dan biarkan aku menjadi orang yang lemah lembut, kasih sayang dan bijak, sehingga jika ada orang ketakutan, dirinya menjumpai ada pintu yang bisa dimasukinya".[5] [1] . as-Sunah 2/433. [2] . Siyar a'lamu Nubala 3/132-133. [3] . Majmu Fatawa 4/478. [4] . Syarh Aqidah Thawiyah 2/302. [5] . Bidayah wa Nihayah 11/396-464.