Search
Siapakah Yang Dimaksud Ulama -2
Para ulama adalah: Pemimpin jama’ah yang kita diperintahkan untuk mengikuti mereka dan kita diperingatkan dari memisahkan diri-dari mereka.Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَيَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ» [ أخرجه البخاري ومسلم]
‘Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah Shubhanahu wa ta’alla dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah Shubhanahu wa ta’alla, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: ‘Tsayyib (yang pernah menikah) yang berzinah, membunuh orang lain, dan yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah.’[1]
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ» [ أخرجه أحمد وغيره]
‘Siapa yang memisahkan diri dari jama’ah sekadar satu jengkal maka sungguh ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya.’[2]
Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Tetap bersama jama’ah dan hindarilah bercerai berai, maka sesungguhnya syetan bersama satu orang, dan ia lebih jauh dari dua orang, dan siapa yang menghendaki aroma surga maka hendaklah ia selalu bersama jama’ah. Siapa yang kebaikannya menyenangkan hatinya dan keburukannya menyedihkannya maka itulah seorang mukmin.’[3]
Sebagai kesimpulan dari ucapan para ulama tentang makna jama’ah ada dua pendapat:
Pendapat pertama: bahwa jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka berkumpul terhadap satu imam secara syar’i.
Pendapat kedua: bahwa jama’ah adalah manhaj dan thariqah (metode dan jalan) maka siapa yang berada di atas petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan salafus shaleh maka dia bersama jama’ah.
Dan di atas dua pendapat tersebut, maka sesungguhnya pemimpin jama’ah ini adalah para ulama. Merekalah yang melaksanakan bai’at untuk imam, taat kepadanya mengikuti terhadap ketaatan mereka. Mereka adalah petunjuk di atas manhaj dan thariqah, karena pengetahuan mereka dengan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta salafus shaleh. Karena itulah, imam al-Ajury memaparkan dalam bab ‘Luzum Jama’ah’ beberapa ayat dan hadits, kemudian ia berkata:
“Tanda orang yang Allah Shubhanahu wa ta’alla menghendaki kebaikan dengannya adalah menelusuri jalan ini: Kitabullah (al-Qur`an al-Karim) dan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sunnah para sahabatnya dan orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, serta yang ada pada para pemimpin kaum muslimin di setiap negeri, seperti: Auza’i, Sufyan ats-Tsaury, Malik bin Anas, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Qasim bin Sallam rahimahumullah, dan orang yang seperti jalan mereka, serta menjauhi setiap mazhab yang para ulama tersebut tidak berpendapat kepadanya.’[4]
Bahkan, tatkala Abdullah bin Mubarak rahimahullah ditanya: Siapakah jama’ah yang mesti diikuti? Ia menjawab: ‘Abu Bakar, Umar...ia terus menyebutkan hingga sampai kepada Muhammad bin Tsabit, Husain bin Waqid.’ Ia ditanya lagi: ‘Mereka telah wafat, siapakah yang masih hidup? Ia menjawab: Abu Hamzah as-Sukkary.’[5]
Maka ia menjadikan ulama adalah jama’ah yang wajib diikuti.Sesungguhnya tuntutan perkara untuk mengikuti jama’ah adalah bahwa seorang mukallaf wajib mengikuti sesuatu yang konsensus para mujtahid, dan mereka itulah yang dimaksudkan al-Bukhari rahimahullah: ‘Dan mereka adalah ahli ilmu.’[6]
[1]HR. Al-Bukhari 9/7, Muslim 3/1302, Ahmad 1/382, Abu Daud 4352, an-Nasa`i 7/90. Semuanya dari hadits Abdullah bin Mas’ud radh.
[2]HR. Ahmad dalam Musnad 4/130, 202, 5/344, Abu Daud 4/241 no. 475
[3]HR. Ahmad 1/18, at-Tirmidzi 3/315 no. 2254
[4]Asy-Syari’ah 14
[5]Mengutip dari asy-Syathiby: I’tisham 1/771
[6]Ibnu Baththal: mengutip dari Ibnu Hajar rahimahullah: Fathul Bari 13/316