Search
Syubhat pertama: Ucapannya yang mengatakan bahwa material adalah bersifat azali dan kekal abadi.
Definisi Maadah (material, unsur benda, elemen) menurut Stalin:
Stalin memberikan definisi kepada ini dengan ucapannya, "Dia adalah ucapan yang diadopsi dari filsafat yang digunakan untuk mendefinisikan hakekat suatu masalah yang diberikan oleh manusia untuk menentukan detailnya, baik dalam penukilan, gambaran, ilustari, atau sinonim yang ada pada suatu benda dengan memberikan ilustrasi bebas yang bisa dipahami oleh panca indera".[1]
Atas dasar definisi ini, yang dianggap oleh mereka cukup mewakili deskripsi kata Maadah secara sempurna, untuk menjelaskan seluruh pengertian setiap wujud benda, semisal bunga, rumah, pohon, atau yang lainnya -sebab setiap benda yang ada wujudnya tentu ada pengertiannya-, di sini kata Maadah didefinisikan secara khusus yang dapat diketahui sebelum melihat dan merasakan efeknya. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa ilmu filsafat adalah sebuah metode yang mempelajari pengertian dan definisi suatu kata atau benda secara mendalam dan sempurna hingga pada pengertian yang paling rinci sekalipun.
Dalam definisi diatas, secara bebas bisa dipahami bahwa hasil studi menyimpulkan secara defakto kalau kata ini adalah kata yang diadopsi dari ucapan ahli filsafat. Dan sebagaimana kata Maadah ini dipelajari secara sempurna hingga pada pengertian yang paling rinci sekalipun, tapi tetap menunjukan bahwa asas ini dibikin dengan cara mengadopsi dari ucapannya ahli fisafat. Fungsi dari ilmu ini ialah mendefinisikan hakekat sebuah masalah.Yakni hakekat wujud suatu benda yang bersifat jasmani bukan yang bersifat konsepsi, yaitu benda yang mampu memberi efek langsung pada anggota inderawi manusia dan bisa dirasakan oleh panca indera.
Jika demikian pengertiannya maka akal pikiran adalah lawan dari material yang berada pada otak manusia. Yang bisa digunakan untuk berfikir tentang apa itu maadah yang bertolak belakang dengannya, dan sebelum pemantulan maadah ini menuju otak tentu tidak ada yang namanya sebuah pemikiran. Maka kesimpulannya maadah ialah perkara yang lebih dahulu ada dari pada pemikiran, ini semua menurut mereka.[2]
Setelah kita mengetahui arti maadah ini yang memberi sinkronisasi –menurut mereka- lebih dahulu ada sebelum munculpemikiran, berikut akan saya nukilkan pendapat mereka berkaitan dengan azaliyahnya maadah dan abadinya. Orang-orang yang berpaham materialisme mengatakan, "Maka dengan ini, tidak ada bagi alam semesta ini kata berakhir tidak pula mempunyai batasan. Jagad raya adalah sebuah alam yang kekal abadi tidak mempunyai waktu permulaan dan tidak akan mengalami waktu berakhir, dari sini, bisa disimpulkan bahwa setiap alam gaib (supranatural) maka tidak termasuk dalam deretan sifat duniawi sehingga tidak ada dan tidak mungkin pernah ada.
Dalam fenomena nyata, jika tidak ada suatu benda pun melainkan dari unsur materi, maka tidak dijumpai lagi selain dunia yang bersifat materi, ini berarti menunjukan, bahwa ketika ada wujud suatu benda dan bentuk yang berbeda-beda di alam yang mengitari kita maka disana ada kekhususan yang menyatu menjadi satu yaitu tinggal tersisa materinya".[3]Maka, tidak ada sesuatu –mengikut pada ungkapan mereka- kecuali tinggal dunia materi.Tidak mungkin ada disana yang dinamakan dengan alam untuk arwah atau hari akhir, sebagaimana dibawa oleh kebanyakan ideologi agama samawi.
Seorang manusia, menurut pandangan mereka, tercipta dari hasil gugusan materi semata, tidak lebih daripada itu, dan unsur benda yang bernama material inilah yang telah membentuk dan menciptakan dirinya.Maadah ini mempunyai sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh pencipta, dan tidak ada disana yang dinamakan dengan dunia gaib, karena alam semesta terbatas pada material yang bisa ditangkap oleh indera.
Bahkan, tidak cukup sampai disitu mereka mengingkari keberadaan Allah Shubhanahu wa ta’alla, mereka begitu keblinger sampai mengatakansecara terang-terangan bahwa keberadaan Allah Shubhanahu wa ta’allahanyalah hasil kreasi khayalan manusia. Masalahnya bukan pada masalah keberadaan -Nya, namun, pangkal masalahnya ada pada pemikiran ada tidaknya AllahShubhanahu wa ta’alla.[4]
Dari sini kita mengetahui, bahwa prinsip dasar yang menjadi pijakan mereka yaitu bahwa Allah Shubhanahu wa ta’allatidak mampu memberi efek apapun, dan provokasi perdebatan yang berkaitan dengan wujudnya Allah Shubhanahu wa ta’allamenjadi perkara yang tidak berfaedah sama sekali, disebabkan mereka punya satu standar pemikiran yang tidak mungkin berubah yaitu bahwa dibelakang alam materi adalah khayalan dan omong kosong belaka.
Maadah ini adalah pokok segala sesuatu, terkadang datang bermakna naturalisme sebagaimana natural itu sendiri bermakna maadah.Adapun ucapan mereka tentang langgengnya material, maka mereka memberi teori dengan pernyataannya, "Sesungguhnya di alam ini tidak ada yang mampu menimbulkan sesuatu yang tidak ada, tidak bisa melahirkan (sesuatu) selama-lamanya tanpa ada efek yang bisa dirasakan, jika perkaranya seperti itu maka maadah atau alam itu akan senantiasa ada selama-lamanya.
Karena, misalkan benar bahwa suatu ketika ada suatu masa yang dimana tidak dijumpai lagi sesuatu apapun di alam ini, yakni tidak dijumpai adanya unsur benda, lalu dari mana unsur benda itu muncul? Akan tetapi, tidak mungkin unsur benda itu hilang, ini berarti bahwa unsur benda tersebut tidak muncul pada suatu waktu, namun, dirinya senantiasa ada dengan sendirinya, dan akan tetap ada dan kekal abadi.Oleh sebab itu material ini tidak mungkin diciptakan, dan tidak mungkin menciptakan sesuatu yang tidak akan binasa, berdasarkan hal ini maka material tidak mungkin diciptakan selama-lamanya, justru dirinya ada dan akan senantiasa ada, itulah yang dinamakan kekekalan abadi".[5]
Intinya, materi adalah unsur benda yang kekal abadi.Tidak diciptakan dari materi yang tidak ada sebelumnya, sebab tidak mungkin ada materi yang diciptakan dari unsur yang tidak bisa punah.Oleh karenanya tidak boleh mempersoalkan tentang permulaan material dan kapan berakhirnya, sebab efeknya bisa dirasakan secara jelas.Demikian pula gerakan juga mustahil diciptakan dan musnah, karena hasil dari produksi unsur benda.
Fredrick Angel mengatakan, "Unsur benda tanpa gratifitas adalah perkara yang tidak bisa dicerna oleh akal, begitu pula sebaliknya.Jadi, gratifitas merupakan perkara yang mustahil diciptakan diluar unsur benda dan bisa sirna sebagaimana unsur benda ini, juga mustahil dengan sendirinya diciptakan dan musnah".[6]
[1]. Dafaatir Falsafiyah 1/32 oleh Lenin.
[2]. Lihat dalam kitabnya Stalin yang berjudul al-Maadiyah Deyalkiyah wa Maadiyah Tarikhiyah hal: 29.
[3]. Asas Madiyah hal: 29 Alih bahasa Muhammad al-Jundi.
[4]. Ushul Falsafah Marksiyah 1/206 alih bahasa oleh Sya'ban Barakat.
[5]. Sparkin dalam kitabnya Asas Maadiyah hal: 30-31.
[6]. Nushushu Mukhtar hal: 98.