Search
Kesyirikan Pada Umat-Umat Terdahulu -1
Kesyirikan Pada Umat-Umat Terdahulu
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah Shubhanahu wa ta’alla, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'alaihi wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, yang tidak ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi bahwasannya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam adalah hamba dan Rasul -Nya. Amma Ba'du:
Bukan perkara rahasia, jika seorang hamba pasti membutuhkan yang namanya peribadatan, makanya tidak heran apabila kehidupan mereka tidak pernah sepi dari yang namanya ibadah.[1] Dikarenakan peribadatan dari seorang hamba merupakan kelaziman bagi mereka, hal itu karena ada dua hal pokok yang mendasarinya, yaitu, kefakiran dzat, walaupun dirinya seorang yang kuat dan bersemangat tinggi, tetap tidak akan mampu untuk melepas ibadah secara total, sama saja, apakah ibadahnya ditujukan kepada sesembahan yang benar ataukah kepada sesembahan yang batil.
Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan ibadah merupakan kebutuhan pokok bagi manusia untuk keeksistensiannya, disadari ataupun tidak. Oleh karena itu, umat-umat terdahulu pasti mereka menjadi seorang hamba, entah itu sebagai hamba Allah azza wa jalla, sehingga dengan sebab itu masuk dalam barisan orang-orang yang bertauhid ataukah sebagai seorang hamba bagi mahkluk, selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, yang dengan sebab itu dirinya dimasukan kedalam golongan orang-orang yang berbuat syirik.
Dan yang nampak ditengah-tengah pemaparan kesyirikan yang terjadi pada umat-umat terdahulu bahwa mereka secara garis besar banyak yang terjatuh dalam kesyirikan ibadah, dengan perbedaan kadar dan tingkat sesuai dengan masing-masing umat dan generasinya. Sedangkan bagi umat yang terjatuh dalam kesyirikan pada sebagian kekhususan rububiyah Allah Shubhanahu wa ta’alla maka mereka juga tidak bisa terlepas dari yang namanya menyekutukan –Nya dalam ritual ibadahnya, sebagaimana telah diketahui bersama bahwa kesyirikan dalam rububiyah mengharuskan untuk melakukan kesyirikan dalam ibadah, seperti halnya tauhid rububiyah melazimkan untuk mentauhidkan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam peribadatan.
Sehingga dengan ini menjadi terang hakekat kesyirikan yang terjadi pada umat-umat terdahulu yaitu ada pada perkara ibadah, dengan perbedaan kadar dan tingkat sesuai dengan masing-masing umat dan generasinya. Diantara mereka ada yang menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam peribadatan manakala mereka beribadah kepada orang-orang sholeh yang ada ditengah-tengah mereka. Sebagiannya ada yang menyembah patung. Ada pula yang menyembah bintang dan benda-benda langit. Dan ada dikalangan mereka yang menyekutukan -Nya dengan menyembah/menuruti hawa nafsunya. Dan ada pula yang beribadah kepada pimpinan agama atau tokohnya.
Maksud dari penjelasan ini semua ialah menjelaskan kalau pembawaan syirik yang berada pada umat-umat terdahulu secara garis besar ada pada kesyirikan dalam ibadah. Dan orang-orang yang menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam rububiyah -Nya, mau tidak mau akan mengantarkan mereka dari yang awal mulanya hanya menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam rububiyah yang pada akhirnya mereka juga akan terjatuh dalam kesyirikan dengan menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam peribadatan.
yang telah dilakukan oleh Bani Adam berawal dari menyekutukan –Nya dengan manusia, yang dianggap sholeh dan diagungkan. Awalnya, ketika orang sholeh dan yang diagungkan tersebut meninggal maka kaumnya berdiam diri disisi kuburnya. Lalu perkaranya berkembang dengan melukis replika orang-orang tersebut kemudian mereka menyembahnya.
Dalam hal ini Syaikhul Islam menjelaskan, "Pokok kesyirikan
[1] . Lihat penjelasannya secara panjang lebar dalam Majmu Fatawa 1/21, 43, 46, 965. Ibnu Taimiyah. Dan dalam kitab Thariqul Hijratain hal: 7, Ightsatul Lahfan 1/28 Ibnu Qoyim.