1. Articles
  2. Makalah
  3. Salafus Shalih Tidak Suka Ketenaran

Salafus Shalih Tidak Suka Ketenaran

Under category : Makalah
23698 2013/11/28 2024/03/29

Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.


Dari Habib bin Abi Tsabit rahimahullah, ia berkata: ‘Pada suatu hari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu keluar lalu diikuti oleh beberapa orang. Ia bertanya kepada mereka: ‘Apakah kalian ada keperluan? Mereka menjawab: ‘Tidak, akan tetapi kami ingin berjalan bersamamu.’ Ia berkata: ‘Kembalilah, sesungguhnya itu adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan menjadi fitnah (cobaan) bagi yang diikuti.”[1]


Dari Harits bin Suwaid rahimahullah, ia berkata: Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Jikalau kalian mengetahui sebagaimana apa yang kuketahui dari diriku niscaya kalian melemparkan tanah di atas kepalaku.’[2]


Dari Bistham bin Muslim rahimahullah, ia berkata: ‘Di antara kebiasaan Muhammad bin Sirin rahimahullah adalah apabila ada seseorang yang berjalan bersamanya, ia berdiri seraya bertanya: ‘Apakah engkau ada keperluan? Apabila ia menyebutkan keperluannya ia menunaikannya. Maka jika ia kembali berjalan bersamanya, ia bertanya lagi kepadanya: ‘Apakah engkau ada keperluan?[3]


Al-Hasan rahimahullah[4] berkata: ‘Pada suatu hari aku bersama Ibnu Mubarak rahimahullah, lalu kami mendatangi sumber air dimana orang-orang minum darinya. Maka ia mendekatinya untuk minum, orang-orang tidak ada yang mengenalnya, maka mereka mendorong dan membuatnya berdesakan. Tatkala keluar, ia berkata kepadaku: ‘Tidak adakah kehidupan kecuali seperti ini.’ Maksudnya, di mana kita tidak dikenal dan tidak dihormati.


Ia berkata: ‘Dan ketika ia berada di Kufah dibacakan kitab Manasik kepadanya hingga sampai satu hadits, dan: Abdullah berkata: dan dengannya kami mengambil (berpendapat). Ia (Ibnu Mubarak rahimahullah) bertanya: ‘Siapa yang menulis ini dari ucapanku? Aku menjawab: ‘Penulis yang telah menulisnya.’ Maka ia terus mengoreknya dengan tangannya hingga hilang tulisannya. Kemudian ia berkata: ‘Siapakah aku sehingga ucapanku ditulis?’[5]


Husain bin Hasan al-Maruzi rahimahullah berkata: ‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata: ‘Jadikanlah dirimu menyukai sifat khumul[6] membenci ketenaran. Janganlah engkau menampakkan dari dirimu bahwa engkau menyukai khumul maka engkau menyanjung dirimu. Sesungguhnya pengakuanmu bersikap zuhud adalah keluarnya engkau dari sikap zuhud, karena sesungguhnya engkau menyeret pujian dan sanjungan kepada dirimu.’[7]


Dari Anas bin Yunus al-Yarbu’i, ia berkata: Mu’awiyah bin Hafsh menceritakan kepada kami, dari Daud bin Muhajir, dari Ibnu Muhairiz, ia mendengar Fadhalah bin ‘Ubaid, dan aku berkata kepadanya: ‘Berilah wasiat kepadaku.’ Ia berkata: ‘Ada beberapa perkara yang Allah Shubhanahu wata’ala memberi manfaat kepadamu; jika engkau mampu agar mengenal dan tidak dikenal maka lakukanlah, jika engkau mampu mendengar dan tidak berbicara maka lakukanlah dan jika engkau mampu agar engkau duduk dan tidak didudukkan kepadamu maka lakukanlah.’[8]


Dari seorang laki-laki, ia berkata: ‘Aku melihat bekas duka cita di wajah Abu Abdillah (maksudnya imam Ahmad rahimahullah) karena ia dipuji oleh seseorang. Dikatakan kepadanya: ‘Semoga Allah Shubhanahu wata’ala memberikan balasan kebaikan kepadanya dari Islam.’ Ia berkata: ‘(Ucapanmu keliru) akan tetapi semoga Allah Shubhanahu wata’ala memberi balasan kebaikan kepada Islam dariku’, siapakah aku, siapakah aku?[9]


Dari Muhammad bin Munkadir rahimahullah, ia berkata: ‘Ada satu tiang di Masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aku duduk dan shalat mengarah kepadanya di malam hari. Maka di satu ketika, penduduk Madinah mengalami kemarau selama satu tahun, lalu mereka keluar meminta hujan namun tidak diturunkan hujan. Tatkala di malam harinya, aku melaksanakan shalat Isya di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku datang dan bersandar di tiang, lalu datang seorang laki-laki berkulit hitam dan (rambutnya) berwarna kuning. Bersarung kain dan di lehernya ada kain lebih kecil. Lalu ia maju ke tiang yang berada di depanku dan aku berada di belakangnya. Ia berdiri shalat dua rekaat kemudian duduk seraya berdoa: ‘Wahai Rabb, penduduk Madinah keluar meminta hujan namun Engkau tidak menurunkan hujan, maka aku bersumpah kepada -Mu agar Engkau menurunkan hujan kepada mereka.’



Ibnu Munkadir rahimahullah berkata: ‘Aku berkata: ‘Orang gila.’ Ia (Ibnu Munkadir) berkata: ‘Maka ia belum meletakkan tangannya sehingga aku mendengar suatu petir, kemudian langit datang dengan sedikit hujan yang membuat saya ingin pulang ke rumah. Tatkala ia mendengar suara hujan ia memuji Allah Shubhanahu wata’ala dengan berbagai pujian yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Kemudian ia berkata: ‘Siapakah aku hingga Engkau mengabulkan do’aku, akan tetapi aku berlindung dengan pujian -Mu dan aku berlindung dengan keagungan -Mu. Kemudian ia berdiri lalu berselimut dengan pakaian/kain yang tadinya dipakai sebagai sarung dan meletakkan kain lain yang berada di punggungnya di kedua kakinya. Kemudian ia shalat yang di akhiri dengan shalat witir dan shalat dua rekaat sebelum Subuh hingga hampir masuk waktu Subuh. Kemudian dikumandangkan iqamah shalat Shubuh, lalu masuk dalam shalat bersama manusia dan aku masuk bersamanya. Tatkala imam salam, ia berdiri lalu keluar dan aku keluar di belakangnya hingga pintu masjid. Lalu ia keluar, mengangkat pakaian dan berjalan di air, maka aku keluar di belakangnya mengangkat pakaianku dan berjalan di air, setelah itu aku tidak mengetahui ke mana ia pergi.

 


Tatkala malam kedua, aku shalat Isya di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku mendatangi tiangku, lalu bersandar kepadanya. Maka ia datang lalu berdiri, mengenakan pakaiannya, melepaskan pakaian lain yang berada di punggungnya, lalu memakai di kakinya dan berdiri shalat. Ia terus berdiri shalat hingga ia merasa khawatir bila masuk waktu Subuh, ia sujud, kemudian shalat Witir, kemudian shalat dua rekaat sebelum Subuh. Kemudian dilantunkan iqamah lalu ia masuk bersama manusia dalam shalat dan aku masuk bersamanya. Ketika salam, ia keluar dari masjid dan aku keluar di belakangnya. Ia terus berjalan dan aku mengikutinya sehingga ia masuk ke dalam rumah yang aku mengenalnya dari rumah-rumah di Madinah dan aku kembali ke masjid.

 


Maka tatkala terbit matahari dan aku telah selesai shalat, aku keluar dan mendatangi rumah tersebut. Kemudiian aku menghampirinya yang sedang duduk, ternyata ia seorang pengrajin sepatu. Tatkala melihatku ia mengenalku dan ia berkata: ‘Wahai Abu Abdillah, selamat datang, apakah anda ada keperluan, apakah anda ingin saya buatkan sepatu? Lalu aku duduk seraya berkata: ‘Bukankah engkau temanku di malam yang pertama? Maka mukanya menjadi merah padam dan berteriak kepadaku seraya berkata: ‘Wahai Ibnu Munkadir, apa urusanmu dengan hal itu? Ia berkata: ‘Dan ia sangat marah.’ Ia berkata: ‘Demi Allah, aku berpisah darinya dan aku berkata: ‘Aku keluar dari sisinya sekarang.’

 


Tatkala di malam ke tiga, aku shalat Isya di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku mendatangi tiang, bersandar padanya, namun ia tidak datang. Aku berkata: ‘Innalillah, apa yang telah kulakukan? Tatkala di pagi hari, aku duduk di masjid hingga terbit matahari, kemudian aku keluar mendatangi rumah tempat tinggalnya, ternyata pintu rumah terbuka dan tidak ada seorang pun di dalam rumah. Pemilik rumah berkata kepadaku: ‘Wahai Abu Abdillah, apakah gerangan yang telah terjadi di antara engkau dan orang ini kemarin? Aku balik bertanya: ‘Ada apa dengannya? Mereka berkata: ‘Ketika engkau keluar dari sisinya kemarin, kemudiann ia berkemas-kemas dengan seluruh peralatan pembuat sepatu, kemudian memikulnya, dan pergi, maka kami tidak mengetahui ke mana ia pergi?

 


Muhammad bin Munkadir rahimahullah berkata: ‘Maka aku tidak meninggalkan satu rumah di Madinah yang kuk

 

etahui kecuali aku mencarinya, namun aku tidak mendapatkannya. Semoga Allah Shubhanahu wata’ala memberi rahmat kepadanya.[10]



[1] Sifat Shafwah: 1/406                      

[2] Sifat Shafwah: 1/406-407

[3] Sifat Shafwah: 3/243

[4] Di antara murid murid Ibnu Mubarak rahimahullah adalah Hasan bin Rabi’, Hasan bin ‘Arafah, dan Hasan bin Isa bin Masarji. Mungkin Hasan di atas adalah salah satu dari mereka. Lihat: Siyar A’lam Nubala` 8/280.

[5] Sifat Shafwah: 4/135

[6] Khumul di sini maksudnya adalah samar dan tidak terkenal dan bukan maksudnya malas. Lihat Qamus al-Muhith (Khamal).

[7] Sifat Shafwah: 4/ 137

[8] Siyar A’lam Nubala` 3/116.

[9] Siyar A’lam Nubala` 11/225

[10] Sifat Shafwah 2/190-192.

Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

Dari Habib bin Abi Tsabit rahimahullah, ia berkata: ‘Pada suatu hari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu keluar lalu diikuti oleh beberapa orang. Ia bertanya kepada mereka: ‘Apakah kalian ada keperluan? Mereka menjawab: ‘Tidak, akan tetapi kami ingin berjalan bersamamu.’ Ia berkata: ‘Kembalilah, sesungguhnya itu adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan menjadi fitnah (cobaan) bagi yang diikuti.”[1]

Dari Harits bin Suwaid rahimahullah, ia berkata: Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Jikalau kalian mengetahui sebagaimana apa yang kuketahui dari diriku niscaya kalian melemparkan tanah di atas kepalaku.’[2]

Dari Bistham bin Muslim rahimahullah, ia berkata: ‘Di antara kebiasaan Muhammad bin Sirin rahimahullah adalah apabila ada seseorang yang berjalan bersamanya, ia berdiri seraya bertanya: ‘Apakah engkau ada keperluan? Apabila ia menyebutkan keperluannya ia menunaikannya. Maka jika ia kembali berjalan bersamanya, ia bertanya lagi kepadanya: ‘Apakah engkau ada keperluan?[3]

Al-Hasan rahimahullah[4] berkata: ‘Pada suatu hari aku bersama Ibnu Mubarak rahimahullah, lalu kami mendatangi sumber air dimana orang-orang minum darinya. Maka ia mendekatinya untuk minum, orang-orang tidak ada yang mengenalnya, maka mereka mendorong dan membuatnya berdesakan. Tatkala keluar, ia berkata kepadaku: ‘Tidak adakah kehidupan kecuali seperti ini.’ Maksudnya, di mana kita tidak dikenal dan tidak dihormati.

Ia berkata: ‘Dan ketika ia berada di Kufah dibacakan kitab Manasik kepadanya hingga sampai satu hadits, dan: Abdullah berkata: dan dengannya kami mengambil (berpendapat). Ia (Ibnu Mubarak rahimahullah) bertanya: ‘Siapa yang menulis ini dari ucapanku? Aku menjawab: ‘Penulis yang telah menulisnya.’ Maka ia terus mengoreknya dengan tangannya hingga hilang tulisannya. Kemudian ia berkata: ‘Siapakah aku sehingga ucapanku ditulis?’[5]

Husain bin Hasan al-Maruzi rahimahullah berkata: ‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata: ‘Jadikanlah dirimu menyukai sifat khumul[6] membenci ketenaran. Janganlah engkau menampakkan dari dirimu bahwa engkau menyukai khumul maka engkau menyanjung dirimu. Sesungguhnya pengakuanmu bersikap zuhud adalah keluarnya engkau dari sikap zuhud, karena sesungguhnya engkau menyeret pujian dan sanjungan kepada dirimu.’[7]

Dari Anas bin Yunus al-Yarbu’i, ia berkata: Mu’awiyah bin Hafsh menceritakan kepada kami, dari Daud bin Muhajir, dari Ibnu Muhairiz, ia mendengar Fadhalah bin ‘Ubaid, dan aku berkata kepadanya: ‘Berilah wasiat kepadaku.’ Ia berkata: ‘Ada beberapa perkara yang Allah Shubhanahu wata’ala memberi manfaat kepadamu; jika engkau mampu agar mengenal dan tidak dikenal maka lakukanlah, jika engkau mampu mendengar dan tidak berbicara maka lakukanlah dan jika engkau mampu agar engkau duduk dan tidak didudukkan kepadamu maka lakukanlah.’[8]

Dari seorang laki-laki, ia berkata: ‘Aku melihat bekas duka cita di wajah Abu Abdillah (maksudnya imam Ahmad rahimahullah) karena ia dipuji oleh seseorang. Dikatakan kepadanya: ‘Semoga Allah Shubhanahu wata’ala memberikan balasan kebaikan kepadanya dari Islam.’ Ia berkata: ‘(Ucapanmu keliru) akan tetapi semoga Allah Shubhanahu wata’ala memberi balasan kebaikan kepada Islam dariku’, siapakah aku, siapakah aku?[9]

Dari Muhammad bin Munkadir rahimahullah, ia berkata: ‘Ada satu tiang di Masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aku duduk dan shalat mengarah kepadanya di malam hari. Maka di satu ketika, penduduk Madinah mengalami kemarau selama satu tahun, lalu mereka keluar meminta hujan namun tidak diturunkan hujan. Tatkala di malam harinya, aku melaksanakan shalat Isya di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku datang dan bersandar di tiang, lalu datang seorang laki-laki berkulit hitam dan (rambutnya) berwarna kuning. Bersarung kain dan di lehernya ada kain lebih kecil. Lalu ia maju ke tiang yang berada di depanku dan aku berada di belakangnya. Ia berdiri shalat dua rekaat kemudian duduk seraya berdoa: ‘Wahai Rabb, penduduk Madinah keluar meminta hujan namun Engkau tidak menurunkan hujan, maka aku bersumpah kepada -Mu agar Engkau menurunkan hujan kepada mereka.’

Ibnu Munkadir rahimahullah berkata: ‘Aku berkata: ‘Orang gila.’ Ia (Ibnu Munkadir) berkata: ‘Maka ia belum meletakkan tangannya sehingga aku mendengar suatu petir, kemudian langit datang dengan sedikit hujan yang membuat saya ingin pulang ke rumah. Tatkala ia mendengar suara hujan ia memuji Allah Shubhanahu wata’ala dengan berbagai pujian yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Kemudian ia berkata: ‘Siapakah aku hingga Engkau mengabulkan do’aku, akan tetapi aku berlindung dengan pujian -Mu dan aku berlindung dengan keagungan -Mu. Kemudian ia berdiri lalu berselimut dengan pakaian/kain yang tadinya dipakai sebagai sarung dan meletakkan kain lain yang berada di punggungnya di kedua kakinya. Kemudian ia shalat yang di akhiri dengan shalat witir dan shalat dua rekaat sebelum Subuh hingga hampir masuk waktu Subuh. Kemudian dikumandangkan iqamah shalat Shubuh, lalu masuk dalam shalat bersama manusia dan aku masuk bersamanya. Tatkala imam salam, ia berdiri lalu keluar dan aku keluar di belakangnya hingga pintu masjid. Lalu ia keluar, mengangkat pakaian dan berjalan di air, maka aku keluar di belakangnya mengangkat pakaianku dan berjalan di air, setelah itu aku tidak mengetahui ke mana ia pergi.

Tatkala malam kedua, aku shalat Isya di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku mendatangi tiangku, lalu bersandar kepadanya. Maka ia datang lalu berdiri, mengenakan pakaiannya, melepaskan pakaian lain yang berada di punggungnya, lalu memakai di kakinya dan berdiri shalat. Ia terus berdiri shalat hingga ia merasa khawatir bila masuk waktu Subuh, ia sujud, kemudian shalat Witir, kemudian shalat dua rekaat sebelum Subuh. Kemudian dilantunkan iqamah lalu ia masuk bersama manusia dalam shalat dan aku masuk bersamanya. Ketika salam, ia keluar dari masjid dan aku keluar di belakangnya. Ia terus berjalan dan aku mengikutinya sehingga ia masuk ke dalam rumah yang aku mengenalnya dari rumah-rumah di Madinah dan aku kembali ke masjid.

Maka tatkala terbit matahari dan aku telah selesai shalat, aku keluar dan mendatangi rumah tersebut. Kemudiian aku menghampirinya yang sedang duduk, ternyata ia seorang pengrajin sepatu. Tatkala melihatku ia mengenalku dan ia berkata: ‘Wahai Abu Abdillah, selamat datang, apakah anda ada keperluan, apakah anda ingin saya buatkan sepatu? Lalu aku duduk seraya berkata: ‘Bukankah engkau temanku di malam yang pertama? Maka mukanya menjadi merah padam dan berteriak kepadaku seraya berkata: ‘Wahai Ibnu Munkadir, apa urusanmu dengan hal itu? Ia berkata: ‘Dan ia sangat marah.’ Ia berkata: ‘Demi Allah, aku berpisah darinya dan aku berkata: ‘Aku keluar dari sisinya sekarang.’

Tatkala di malam ke tiga, aku shalat Isya di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku mendatangi tiang, bersandar padanya, namun ia tidak datang. Aku berkata: ‘Innalillah, apa yang telah kulakukan? Tatkala di pagi hari, aku duduk di masjid hingga terbit matahari, kemudian aku keluar mendatangi rumah tempat tinggalnya, ternyata pintu rumah terbuka dan tidak ada seorang pun di dalam rumah. Pemilik rumah berkata kepadaku: ‘Wahai Abu Abdillah, apakah gerangan yang telah terjadi di antara engkau dan orang ini kemarin? Aku balik bertanya: ‘Ada apa dengannya? Mereka berkata: ‘Ketika engkau keluar dari sisinya kemarin, kemudiann ia berkemas-kemas dengan seluruh peralatan pembuat sepatu, kemudian memikulnya, dan pergi, maka kami tidak mengetahui ke mana ia pergi?

Muhammad bin Munkadir rahimahullah berkata: ‘Maka aku tidak meninggalkan satu rumah di Madinah yang kuk

 

etahui kecuali aku mencarinya, namun aku tidak mendapatkannya. Semoga Allah Shubhanahu wata’ala memberi rahmat kepadanya.[10]



[1] Sifat Shafwah: 1/406                      

[2] Sifat Shafwah: 1/406-407

[3] Sifat Shafwah: 3/243

[4] Di antara murid murid Ibnu Mubarak rahimahullah adalah Hasan bin Rabi’, Hasan bin ‘Arafah, dan Hasan bin Isa bin Masarji. Mungkin Hasan di atas adalah salah satu dari mereka. Lihat: Siyar A’lam Nubala` 8/280.

[5] Sifat Shafwah: 4/135

[6] Khumul di sini maksudnya adalah samar dan tidak terkenal dan bukan maksudnya malas. Lihat Qamus al-Muhith (Khamal).

[7] Sifat Shafwah: 4/ 137

[8] Siyar A’lam Nubala` 3/116.

[9] Siyar A’lam Nubala` 11/225

[10] Sifat Shafwah 2/190-192.

Previous article Next article
Website Muhammad Rasulullah saw.It's a beautiful day