Search
Kapan suatu ibadah diterima?
Ibadah tidak diterima kecuali jika terkandung dua syarat:
- Ikhlas untuk AllahShubhanahu wa ta’alla.
- Mengikuti tuntunan Rasulullah -Salallahu ‘alaihi wasallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, "Kopulasi din atas dua dasar: janganlah kita beribadah selain kepada Allah Shubhanahu wa ta’alladan jangan mengibadahinya kecuali dengan yang disyariatkan. Janganlah kita mengibadahi -Nya dengan bid'ah (yang dibuat-buat), sebagaimana firman Allah -ta’ala-,
قال الله تعالى: ﴿فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً﴾ [الكهف: 110]
"…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS.al-Kahfi:110)
Dan itu merupakan realisai syahadatian: persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah Shubhanahu wa ta’alladan persaksian bahwa Muhamad adalah Rasul utusan -Nya.
Pada yang pertama: agar jangan beribadah kecuali hanya kepada -Nya, sedang kedua: bahwa Muhamad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan sebagai mubalig-Nya. Wajib atas kita membenarkan apa yang dikabarkannya dan mentaati perintahnya."[1]
Siapa yang ingin mengibadahi AllahShubhanahu wa ta’alla, ia harus memenuhi dua syarat tersebut. Lisan halnya mengatakan: "Akan aku lakukan apa pun yang engkau inginkan."Al-Fudhail Ibn 'Iyadh -rahimahullah- mengomentari firman Allah -ta’ala-:
قال الله تعالى: ﴿لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً﴾ [الملك: 2]
"…Supaya -Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…." (QS.al-Mulk:2)
Dengan mengatakan, "Jadikan ikhlas dan benar." Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apa maksud 'Jadikan ikhlas dan benar?' Dia menjawab, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, tidak diterima. Jika benar tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, sampai menjadi ikhlas dan benar. Ikhlas dengan menjadikannya hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla, sedang benar dengan melakukannya berdasarkan Sunah (Hadis)."[2]
Jika tidak terpenuhi kedua syarat tersebut atau salah satunya, ibadah menjadi batal. Penjelasannya dengan permisalan berikut: Jika seseorang shalat untuk selain Allah Shubhanahu wa ta’alla dan dengan tata cara yang tidak diajaran Rasulullah Shlallahu ‘alaihi wasallam, sungguh ibadahnya tertolak. Mengapa? Karena kedua syaratnya tidak terpenuhi. Demikian juga jika shalat sebagaimana tata cara shalat Rasulullah Shlallahu ‘alaihi wasallam, dengan tata cara yang lengkap, tetapi ditujukan kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, sungguh menjadi batal ibadahnya, mengapa?
Karena tidak terpenuhinya ikhlas. Allah Shubhanahu wata’ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾ [الأنعام: 88]
"…seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (QS.al-An'am:88)
Dan firman -Nya:
قال الله تعالى:﴿ إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ﴾ [النساء: 48]
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan -Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki -Nya…." (QS.an-Nisa:48)[3]
Demikian juga jika shalat untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla, tetapi tidak dengan tata cara yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, dengan membuat tata cara sendiri, batallah ibadahnya. Karena tidak terpenuhinya mengikuti tuntunan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana terdapat dalam hadis mutafak alaih,
قال رسول الله : «من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد »
"Siapa yang mengerjakan amalan yang tidak ada padanya tuntunan kami, maka ia tertolak."[4]
Yakni tidak diterima. Ungkapan jar dan majrur dalam sabdanya "عليه" terkait pada sesuatu yang terhapus yaitu "حاكماً أو مهيمناً" (wewenang atau otoritas).
Dalam riwayat hadis yang lain:
قال رسول الله : «من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد »
"Siapa yang membuat-buat pada urusan (agama) kami ini yang bukan dari padanya, maka ia tertolak."[5]
Kedua syarat ini hakikatnya saling berkaitan. Karena sesungguhnya di antara bentuk ikhlas, mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam, dan mengikuti Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam mengharuskan adanya ikhlas.