Search
Urgensi ikhlas dan Mutaba’ah (mengikuti tuntunan)
Di antara yang menunjukkan urgensi ikhlas dan mutaba'ah, yang merupakan syarat diterimanya ibadah sebagai berikut:
- Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada -Nya. Sebagaimana Firman -Nya,
قال الله تعالى: ﴿ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾ [الأعراف: 29]
"…dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada -Nya.…" (QS.al-A'raf:29)
- Allah Shubhanahu wa ta’alla mengkhususkan diri -Nya dalam pensyariatan dan itu adalah hak -Nya semata. Siapa yang beribadah kepada –Nya dengan sesuatu yang tidak disyariatkanya, maka telah menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam pensyariatan. Allah Ta’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ ﴾ [الشورى: 13]
"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu agama sebagaiaman yang telah diwasiatkan -Nya kepada Nuh dan yang telah Kami wahyukan kepadamu…." (QS.as-Syuro:13)
Dan firman -Nya,
قال الله تعالى: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ﴾ [ الأنعام: 153]
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan -Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan -Nya…." (QS.al-An'am:153)
Allah mengingkari siapa yang membuat syariat sendiri. Firman Allah ta’ala,
قال الله تعالى: ﴿ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ﴾ [الشورى: 21]
"Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?..." (QS.as-Syuro:21)
- Allah telah menyempurnakan agama untuk kita dan meridainya untuk kita. Sebagaimana Firman -Nya,
قال الله تعالى: ﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الإِسْلامَ دِيناً ﴾ [ المائدة : 3 ]
"…pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat -Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…." (QS.al-Maidah:3)
Bid'ah dalam agama pada hakikatnya pengingkaran terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya dan menuduh agama memiliki kekurangan.
- Seandainya manusia dibolehkan beribadah dengan tata cara yang mereka kehendaki, maka setiap orang akan memiliki caranya sendiri-sendiri dalam beribadah, dan kehidupan manusia menjadi neraka tak tertahankan. Persaingan berlaku dan saling menjatuhkan karena adanya perbedaan rasa, yang mengakibatkan perselisihan dan perpecahan. Ittiba (mengikuti tuntunan) dan meninggalkan bid'ah merupakan sebab terbesar kekompakan dan persatuan.
- Seandainya manusia dibolehkan mengibadahi Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan tata cara semaunya, itu berarti manusia tidak membutuhkan Rasul. Ini tidak dikatakan oleh orang berakal.[1]
Rukun Ibadah
Ibadah memiliki tiga rukun (pilar):
- Cinta
- Takut
- Harap
Sebagian ahli ilmu menjadikannya empat: cinta, pengagungan, takut dan harap. Kedua pembagian tersebut tidaklah saling bertentangan. Sesungguhnya harap timbul dari cinta, sehingga seseorang tidaklah berharap kecuali kepada yang dicintai. Demikian pula takut muncul dari pengagungan. Tidaklah seseorang takut kecuali dari sesuatu yang agung.
Allah Shubhanahu wa ta’alla memuji pelaku takut dan harap dari para nabi dan rasul. Firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ ﴾ [الأنبياء: 90]
"…Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas…." (QS.al-Anbiya:90)
Lebih memuji pelakunya dibanding ibadah lain:
قال الله تعالى: ﴿ أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ﴾ [الزمر: 9]
"(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? …" (QS.az-Zumar:9)
Dan firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ﴾ [الإسراء: 57]
"…dan mengharapkan rahmat -Nya dan takut akan azab -Nya.…" (QS.al-Isra':57)
Dan firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنْ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴾ [السجدة: 16]
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan berbagai rezki yang Kami berikan…." (QS.as-Sajadah:16)
Sebagaimana perintah Allah ‘Azza wajalla untuk menghadirkan dan mengerjakannya. Firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً ﴾ [الأعراف: 56]
"…dan berdoalah kepada -Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan)…." (QS.al-A'raf:56)
Demikian itulah ibadah para nabi dan rasul serta hamba-hamba -Nya yang beriman. Maka siapakah lagi yang lebih baik dan lebih mendapat petunjuk dari mereka?
Apakah klaim semata bisa diterima?
Jawabnya: tidak. Takut dan harap saling berkaitan. Keduanya adalah paket kemenangan mendapat surga dan selamat dari neraka. Jika engkau tanya mukmin yang tidak berzina, padahal bisa melakukannya dengan: "Kenapa kamu tidak berzina?" niscaya akan segera menjawab, "Aku takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan berharap -Dia membalas dengan pahala."
Jika engkau tanya mengapa melakukan shalat, niscaya dia akan menjawab, "Takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan berharap pahala -Nya." Demikian juga hal lain. Selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, mungkin dicinta tapi tidak ditakuti. Mungkin juga ditakuti tapi tidak dicintai. Sedangkan pada -Nya, tergabung kedua hal itu pada -Nya, ditakuti dan dicintai. Karenanya, seorang mukmin haruslah menggabungkan atara cinta, takut, harap dan pengagungan. Ibadah hanya semata dengan cinta tidaklah cukup dan tidak benar, karena tidak mengandung pengagungan terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla, tidak pula takut. Dia hanya mendudukkan Allah Shubhanahu wa ta’alla seperti orang tua dan teman. Tidak berusaha komit menghindari perkara haram, bahkan meremehkannya dengan alasan kekasih tidak akan menyiksa yang dicintainya, sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.
قال الله تعالى: ﴿ نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ ﴾ [المائدة: 18]
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, 'Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih -Nya'…." (QS.al-Maidah:18)
Dan sebagaimana yang dikatakan ekstremis sufi: "Kami menyembah Allah Shubhanahu wa ta’alla bukan karena takut siksa -Nya, tidak juga mengharap pahala -Nya, tetapi mengibadahi Allah Shubhanahu wa ta’alla Karena cinta kepada -Nya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rabi'ah al-'Adawiah, yang berkata:
(Syair):
Kucinta Engkau karena dua cinta:
Cinta nafsu dan cinta karena Kau layak untuk itu
Tentang cinta nafsu, telah membuatku sibuk berzikir
Menyebut-nyebut -Mu dibanding yang lain
Tentang -Mu yang layak dicinta,
Telah tersingkap tirai hingga aku dapat melihat -Mu[2]
Juga sebagaimana yang dikatakan Ibnu Arabi:
Aku beragama dengan agama cinta,
Dengannya aku bertawajuh
Cinta adalah agama dan imanku,
Dengannya aku berpijak[3]
Tidak diragukan bila cara seperti itu tidak benar dan metode cacat yang berefek merugikan. Di antaranya, merasa aman dengan murka Allah Shubhanahu wa ta’alla dan yang berujung pada lepas dari agama. Siapa yang sengaja lalai dan berbuat dosa kemudian mengharap rahmat -Nya tanpa amal, dia tertipu, aspirasi batil (sesat) dan harapan dusta. Demikian pula ibadah semata dengan takut, tanpa cinta dan harap tidaklah sahih. Bahkan merupakan kebatilan dan kerusakan. Itu merupakan metode Khawarij, yang tidak menjadikan ibadah mereka kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla diiringi cinta, sehingga tidak mendapati nikmat dalam ibadah, tidak pula berhasrat. Posisi Tuhan bagi mereka seperti posisi penguasa bengis, atau raja zalim. Ini mewariskan putus asa atau harapapan dari rahmat -Nya. Berujung pada kekufuran kepada -Nya dan berburuk sangka kepada -Nya. Rasul -Salallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يقول الله عز وجل: أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه حيث يذكرني » [متفق عليه ]
"Allah Azza wajalla berkata, 'Aku sesuai praduga hambaku kepada -Ku dan aku bersamanya saat mengingat -Ku.'"[4]
Dari Jabir Radiallahu ‘anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebelum tiga hari kematiannya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل » [رواه مسلم ]
"Janganlah kalian mati kecuali dengan berbaik sangka kepada Allah Azza wajall."[5]
Prasangka baik adalah motivasi amal. Ia harus ada tatkala mengharap ijabat doa, diterimanya taubat, ampunan saat beristighfar dan pahala ketika beramal. Namun berprasangka diampuni, diijabat dan diberi pahala sambil terus-terusan berbuat dosa dan lalai dalam beramal bukanlah prasangka baik sama sekali, bahkan itu merupakan kelemahan, kebodohan dan tertipu. Bagi hamba, Allah Shubhanahu wa ta’alla haruslah menjadi yang paling dicintai dibanding apapun yang lain, dan menjadikan -Nya sebagai yang paling agung dari segala sesuatu, yang menuntut rasa takut. Bila tidak demikian, dia akan merasa aman-aman saja.
Takut menuntut rasa harap. Bila tidak demikian, akan menjadi putus harapan dan asa. Setiap orang jika takut akan berlari menghindar, kecuali kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Jika engkau takut kepada -Nya, justru berlari mendekat kepada -Nya. Orang yang takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah yang lari mendekat kepada -Nya. Allah ta’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ﴾ [الذاريات:50]
"Maka segeralah berlari kembali kepada (mentaati) Allah…." (QS.adz-Dzariat:50)
Terdapat pernyataan yang terkenal dikalangan salaf, yaitu pernyataan mereka:
"Siapa yang hanya beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan cinta semata, maka dia adalah zindik. Siapa yang mengibadahi -Nya dengan takut semata, dia adalah haruri (khawarij). Siapa yang mengibadahi -Nya dengan harap semata, maka dia adalah murji’. Dan siapa yang mengibadahi -Nya dengan takut, harap dan cinta, maka dia adalah mukmin muwahid (yang mengesakan Allah).[6]
[1]Pernyataan ini diambil dari Mudzakaroh fit Tauhid oleh Syaikh Dr.Abdullah Jasir.
[2]Kitab As-Shufiah Fi Nadzril Islam: Dirosah Wa Tahlil oleh Samîh Âthifuzzain hal.257.
[3]Kitab As-Syi'rus Shûfi Ila Mathla'il Qornit Tâsi' Lilhijrah oleh Dr.Muhamad Ibn Sa'ad Ibn Husain hal.172.
[4]HR.al-Bukhari dalam al-Fath no.7405, Muslim no.2675.
[5]HR.Muslim no.2877.
[6]Lihat al-Ubudiah hal.128.