Search
Perintah dan larangan Rasulullah saw. pada musim haji
perintah dan larangan rasulullah saw.
pada musim haji
hal ini adalah ibadah fardhu (bagi yang mampu untuk melaksanakannya), suatu ibadah yang mengumpulkan orang-orang muslim dari seluruh penjuru dunia, terkadang ketika sedang dalam melaksanakan ibadah manasik haji terdapat beberapa kesalahan-kesalahan yang menyimpang dari syari'at, dan kebanyakan kesalahan tersebut di sebabkan oleh ketidak tahuan orang-orang atau melampaui batas, atau mereka menggampang-gampangkan dalam merealisasikan hukum-hukum syari'at islam .
rasulullah saw. adalah contoh yang sangat ideal dalam melakukan dakwah, beliau saw. tidak mengenal lelah dan letih untuk melaksanakan kewajiban memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar, jika beliau saw. melihat praktek-praktek maksiat maka beliapun langsung merubahnya, begitupun ijtihad-ijtihad yang keliru beliau langsung memperbaikinya, hal ini sesuai yang di riwayatkan oleh ibn abbas radhiyallahu'anhumaa bahwasanya nabi saw. ketika sedang bertawaf di kabbah beliau melewati seseorang yang mengikat tangannya memakai tali yang terbuat dari kulit binatang (dengan tangan orang lain), maka rasulullah saw. memutuskan tali tersebut dengan tangannya, kemudian beliau saw. bersabda: "peganglah tangannya.[1]
al haafidz ibn hajar rahimahullah mengatakan-imam an nawawi rahimahullah mengatakan: "di putuskannya rasulullah saw. tali tersebut menandakan bahwa tidak ada jalan untuk menghilangkan atau merubah kemungkaran tersebut kecuali dengan memutuskannya (tali itu) , atau beliau saw. menunjukkan (hal yang lebih baik) kepada orang tersebut, dan yang lain mengatakan: orang-orang jahiliyah mendekatkan diri mereka kepada allah swt. dengan perbuatan seperti ini, saya mengatakan [2](ibn hajar rahimahullah): ibn batthal mengomentari hadits ini dengan mengatakan: boleh bagi orang yang sedang bertawaf melakukan sesuatu hal yang ringan (dan tidak membahayakan serta tidak melanggar syari'at) serta merubah kemungkaran yang di lakukan oleh orang yang bertawaf". [3]
dari abi hurairah radhiyallahu'anhu sesungguhnya rasulullah saw. melihat seseorang yang sedang menuntun unta, kemudian beliau saw. bersabda: tunggangilah unta itu, ia menjawab: ini adalah unta (yang akan di kurban), rasulullah saw. bersabda: tunggangilah ia, dia menjawab: ini adalah unta (yang akan di kurbankan), rasulullah saw. bersabda: tunggangilah ia, ada apa denganmu dengan perintah saya yang pertama atau yang kedua".[4]
dari abdullah bin abbas radhiyallahu'anhumaa ia mengatakan: al fadhl di bonceng oleh rasulullah saw. maka datang seorang perempuan dari khats'am (nama sebuah kabilah), maka al fadhl memandangnya dan perempuan itu juga memandangnya, maka rasulullah saw. mengarahkan wajah al fadhl kea rah yang lain (yang tidak menghadap ke perempuan tersebut), kemudian perempuan tersebut berkata: wahai rasulullah! sesungguhnya allah swt. telah mewajibkan kepada hambanya untuk berhaji, dan kewajiban ini telah mendatangi ayah di usianya yang sudah tua, sedangkan beliau sudah tidak bisa menunggangi tunggangannya, apakah saya harus menghajikannya? rasulullah saw. menjawab: iya, kejadian ini pada haji wada'". [5] muttafaqun 'alaih.
demikianlah rasulullah saw. memalingkan wajah al fadhl radhiyallahu'anhu (agar tidak memandang perempuan tersebut), dalam riwayat yang lain rasulullah saw. memalingkan wajahnya lebih dari sekali, dan beliau saw. bersabda: "aku melihat pemuda dan pemudi, maka aku khawatir setan akan menggoda keduanya".
karena setan akan memasuki hati jikala hati sedang lemah, maka dalam keadaan seperti ini setan menjalankan aksinya bahkan akan menggodanya sehingga orang melakukan hal yang di larang, akan tetapi dengan adanya seorang da'i atau yang bertugas memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar, maka dia harus lebih berperan untuk untuk melarang untuk tidak terjerumus dalam dosa dalam keadaan seperti itu, dan menjaga manusia.
ahmad al banna as sa'aati rahimahullah mengatakan: 'karena memandang perempuan yang bukan (mahram) adalah haram, apalagi jika ia adalah seorang pemuda atau pemudi, sebagaimana dalam sebuah riwayat oleh karena itu rasulullah saw. akan terjadi diantara keduanya sebuah fitnah dan di dalam hadits ini juga terdapat faidah yaitu menghilangkan kemungkaran dengan menggunakan tangan jika mampu.[6]
demikianpula jika ia melihat seseorang yang menunaikan ibadah haji dan keliru dalam pelaksanaannya, maka ia berkewajiban untuk memperbaikinya dan menjelaskan yang benar untuknya, dan melarangnya untuk berjalan dengan ijtihad yang keliru tersebut, agar ibadah yang dia sedang laksanakan tidak keliru kemudian setelah itu berlangsung setelahnya, adalah rasulullah saw. mengawasi para sahabatnya, maka jika beliau saw. melihat dari mereka ada yang melakukan kekeliruan-kekeliruan, maka beliau saw. mencegahnya dan menjelaskan untuknya hal yang benar atau yang lebih utama.
dari ibn abbas radhiyallahu'anhumaa ia berkata: bahwasanya rasulullah saw. mendengar seseorang mengatakan: "aku memenuhi panggilan-mu untuk syubrumah, rasulullah saw. bertanya: siapa itu syubrumah? ia menjawab: dia itu saudaraku, atau keluargaku, rasulullah saw. bertanya: apakah kamu sudah berhaji untukmu sendiri? ia menjawab: belum, maka rasulullah saw. bersabda: hajilah dulu untuk dirimu sendiri kemudian hajikan (saudaramu) syubrumah". di keluarkan oleh abu daud.[7]
ketika rasulullah saw. melihat bahwasanya orang ini telah berniat untuk menghajikan saudaranya sementara ia sendiri belum berhaji, maka beliau saw. memerintahkannya untuk berhaji untuk dirinya sendiri dulu kemudian setelah itu baru bisa menghajikan orang lain jika dia ingin, karena boleh jadi dia meninggal sebelum menghajikan dirinya sendiri, maka dalam keadaan seperti ini ia telah meninggalkan hal yang lebih utama, dan hal ini adalah suatu bentuk mungkar yang bertentangan dengan syari'at islam.
[1] di keluarkan oleh imam bukhari di dalam kitab shahihnya, fathul baari di dalam kitab tentang haji (3/4821/ 1620-1621), (10/586/6702), musnad ahmad (1/364), sunan an nasaa'i di dalam kitab haji (5/122), dan tabrani di dalam al kabier (11/34/10954).
[2] yaitu: al haafidz ibn haajar.
[3] fathul baari syarhu shahih al bukhari oleh ibn haajar (3/402).
[4] di keluarkan oleh bukhari di dalam kitab shahihnya, fathul baari di dalam kitab tentang haji (3/536, hadits 1689, 1706), (5/383/2754,2755), (10/551-552/ hadits 6160), shahih muslim di dalam kitab tentang haji (3/960/ hadits: 1322), sunan abi daud di dalam kitab mengenai manasik (2/367/ hadits 1760), sunan an nasaa'i di dalam kitab mengenai haji (5/176), sunan ibn majah di dalam kitab al manaasik (7/194-195/ hadits 1954-1955).dan sunan al baihaqy (4/361).
[5] di keluarkan oleh imam bukhari di dalam kitab shahihnya, fathul baari dalam kitab mengenai haji (3/378 hadits 1513), (4/66-67/ hadits 1854-1855), shahih muslim di dalam kitab tentang haji (3/1335/ hadits 973), sunan abi daud di dalam kitab mengenai manaasik (2/400-402/ hadits 1809), muwaththa' malik (801) dan sunan an nasaa'i di dalam kitab tentang al qadha' (8/227), dan di kitab tentang haji (5/118-119).
[6] badaa'iul minan oleh as sa'aati (1/277-287).
[7] di keluarkan oleh abi daud di dalam sunannya kitab tentang manaasik (2/3/4/ hadits 1811), sunan ibn majah di dalam kitab tentang manaasik (2/669/hadits: 2903-2904), daraquthni di dalam kitab tentang haji (2/267-271) dengan jalur yang berbilang-bilang, ibn hibban di dalam kitab tentang haji (mawaarid: 826) di shahihkan oleh daraquthni, ibn hibban dan al baihaqy di dalam kitab mengenai haji (5/179-180) di shahihkan oleh ibn haajar di dalam kitab talkhiishul khaabir (2/223-224), muhammad fu'ad di dalam kitab az zawaaid mengatakan isnadnya shahih. dan ibn al jaarud di dalam al muntaqi (469) dan telah di riwayatkan dengan lebih panjang oleh al mubaarak fuuri di dalam kitab al mur'aatul mafaatih syarh miskaatul mashaabih (6/301-302) mengenai takhrij hadits maka harus di jadikan referensi karena ia adalah teramasuk kitab yang penting, dan di shahihkan juga oleh al haafidz di dalam kitab al ashaabah (5/46).