Search
Lalai dari niat pada amalan-amalan perbuatan yang di lakukannya
Telah shahih di riwayatkan dari Umar bin Khatab semoga Allah meridhoinya ia berkata: "Saya pernah mendengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hanyalah amalan-amalan tersebut tergantung dari niat-niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang di niatkannya". HR Bukhari no: 1.
Dan manusia terkadang mereka lupa akan niat ketika sedang mengerjakan kewajiban bahkan adakalanya hal tersebut bisa menjadikan batalnya amalan tersebut dikarenakan ada sebagian amalan-amalan yang sangat membutuhkan (menjadi syarat sahnya.pent) kepada niat.
Adakalanya orang itu lalai berniat di dalam beramal sehingga ketika beramal dia tidak meniatkan untuk meraih pahala sehingga dengan sebab kelalaianya ini ada begitu banyak pahala-pahala yang lewat begitu saja. Dan perlu di ketahui bersama, sesungguhnya jika seorang hamba menghadirkan niat pada setiap amalan-amalan yang mubah, yang akan dikerjakan maka hal itu akan menjadi sebuah pendekatan diri (ibadah) kepada Allah Ta'ala. Sebagai contoh manakala ia membeli barang-barang kebutuhan rumah tangganya, jika ia meniatkan sebagai bentuk ibadah maka hal itu akan bernilai ibadah di sisi Allah dan akan diberi pahala yang besar oleh Allah Ta'ala dengan sebab niatnya.
Demikian pula ketika ia memberi nafkah untuk keluarganya entah itu nafkah yang wajib atau nafkah lainnya. Hal itu sebagaimana yang di riwayatkan dari Abu Mas'ud al-anshori semoga Allah meridhoinya, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam beliau berkata: "Jika seorang mu'min memberi nafkah keluarganya sedangkan ia mengharap kepada Allah dengan amalannya tersebut pahalaNya maka hal itu bernilai shodaqah baginya". HR Bukhari no: 55, Muslim no: 5351.
Terkadang pula ada seseorang bercanda dengan saudaranya atau temannya, tentunya dengan canda atau sendau gurau yang mubah (dibolehkan), sedangkan dia akan mendapatkan pahala jikalau didalam perbuatannya tersebut berniat untuk membikin senang saudaranya sesama muslim, dan bisa jadi perbuatannya tersebut tak bernilai apa-apa, tidak bagi dirinya (dimana tak bernilai disisi Allah) tidak pula bagi saudarnya tersebut, itu jika dia tidak meniatkan apapun dalam perbuatannya tersebut.
Bahkan yang lebih menakjubkan dari semua itu adalah candanya seorang suami bersama dengan istrinya maka hal itu akan memperoleh pahala jika niatnya ikhlas karena Allah Ta'ala, selama ini kita perhatikan betapa banyak orang yang telah lalai akan hal ini! Di riwayatkan dari Abu Dzar semoga Allah meridhoinya dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Dan di dalam hubungan suami istri kalian adalah shodaqah". Maka di katakan kepada beliau: "Wahai Rasulallah, apakah salah seorang diantara kami mendatangi syahwatnya, hal tersebut akan memperoleh pahala? Di jawab oleh beliau: "Tidakkah kalian ketahui bagaimana sekiranya kalau dilakukan kepada orang yang tidak halal (bagi kalian), apakah hal itu akan berdosa? Demikian pula jika dilakukan pada orang yang halal (bagi kalian) maka hal itu akan mendapat pahala". HR Muslim no: 1006.
Imam Nawawi mengatakan akan hadits di atas: "Di dalam hadits ini sebagai dalil bahwa hal-hal yang mubah akan menjadi ketaatan dengan sebab niat yang benar, dan hubungan suami istri akan bernilai ibadah jika di niatkan dengannya untuk menunaikan haknya seorang istri dan mempergauli dirinya dengan cara yang baik, yang mana hal tersebut telah di perintahkan oleh Allah Ta'ala, atau meniatkan dengan hubungan tersebut untuk mendapatkan anak, atau untuk menjaga dirinya atau menjaga istrinya agar tidak terjatuh kedalam perbuatan zina serta mencegah keduanya dari melihat sesuatu yang haram, atau berfikir tentang zina atau berkeinginan untuk melakukanya. Dan selainnya dari tujuan-tujuan yang baik (dari hubungan intim) tersebut".[1]
Maka bisa jadi amalan yang sedikit akan menjadi besar dengan sebab niat, dan bisa jadi amalan besar itu akan menjadi sedikit dengan sebab niat. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Mubarak.[2]
Di dalam sebuah hadits yang shahih yang di riwayatkan oleh Abu Burdah semoga Allah meridhoinya berkata: "Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus Abu Musa dan Mu'adz bin Jabal ke negeri yaman, keduanya pun berangkat, maka Mu'adz bertanya kepada Abu Musa: "Bagaimana kiranya engkau membaca al-Qur'an? Abu Musa menjawab: "Saya membacanya ketika saya duduk, sambil berdiri dan di atas hewan tungganganku, dan saya selalu berusaha membaca pada semua keadaanku". (dan Mu'adz) mengatakan kepada Abu Musa: "Adapun saya maka (ada) saat-saat yang saya gunakan untuk tidur dan saya gunakan untuk bangun (sholat), dan saya berharap (meraih pahala) dengan tidurku sebagaimana saya mengharap pahala ketika saya bangun".[3]
Al-Hafidhz Ibnu Hajar berkata menjelaskan perkataanya Abu Mas'ud di atas dengan mengatakan: "Bahwa (maksud dari perkataannya beliau) adalah bahwa beliau mengharap pahala ketika sedang santai sebagaimana ia mengharap pahala ketika sedang capai, karena waktu santai jikalau digunakan untuk membantu agar segar ketika ibadah maka ia akan mendapat pahala (dengan sebab niatnya)".[4]
Sedangkan Imam Nawawi mengatakan: "Bahwa maksud perkataanya beliau adalah bahwa saya tidur dengan niat agar menjadi segar dan tenangnya hati ketika ibadah serta bergairah di dalam mengerjakan ketaatan, dan saya juga berharap pada semua (perbuatanku) itu pahala dari Allah Ta'ala sebagaimana saya mengharap pahala ketika saya terjaga (sholat)".[5]
Berkata Imam Ibnul Qoyim menegaskan keadaan orang yang hatinya selalu teringat Allah Ta'ala dan akhirat maka keadaanya tidak akan jauh dari sesuatu yang nampak dalam amalannya kecuali untuk meraih keridhoanNya, beliau mengatakan: "Jika ia mengerjakan suatu amalan yang sifatnya kegiatan rutinitas biasa yang di kerjakan dalam sehari-harinya maka ia jadikan sebagai ibadah dengan niatnya, berniat sebagai sarana untuk menggapai keridhoan Rabbnya. Maka secara garis besar bisa di tarik kesimpulan bahwa ia selalu memperhatikan dirinya pada setiap awal pekerjaannya, mengorekasinya, menjadikan dengan amalannya tersebut agar bisa menempuh jalan yang di ridhoi oleh Allah sehingga amalan yang biasa berubah menjadi ibadah dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah)".[6]
Dan ringkasan dalam maslah ini bisa kita katakana, sesungguhnya pada setiap orang dalam satu harinya saja ada begitu banyak aktifitas yang dilakukannya, seperti pergi pada pagi harinya menuju ke tempat pekerjaanya, makan, minum, tidur, bergurau dengan teman atau saudaranya, ngobrol, melakukan akad jual beli atau sewa menyewa, maka pada setiap aktifitas ini tidak terlintas pada orang-orang yang lalai, mereka tidak memiliki niat dalam aktifitasnya yaitu niat yang baik ketika melakukannya, selalu mengoreksi hatinya dari niat yang baik ini yang akan menjadikan segala aktifitasnya bernilai ibadah di sisi Allah Azza wa jalla.