Search
Muqodimah
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Bid’ah tidak hanya satu jenis, di antaranya ada bid’ah kufur yang mengeluarkan dari agama, di antaranya ada yang tidak keluar dari agama akan tetapi pelakunya berada dalam bahaya, di antaranya bid’ah amaliyah (dalam perbuatan), bid’ah i’tiqadiyah (dalam keyakinan), bid’ah haqiqiyah (sebenarnya), dan bid’ah idhafiyyah (sandaran).
Seperti inilah berbeda-beda tingkatan bid’ah, dan perbedaan tingkatan bid’ah karena perbedaan keterkaitannya. Dan kaitan-kaitan ini terbatas pada:
- Masalah-masalah ushul (dasar) dan i’tiqad.
- Kaidah-kaidah dan dasar-dasar i’tiqad dan amal ibadah.
- Kebutuhan, keperluan dan pelengkap.
- Kulliyaat dan juz`iyyah.
- Bid’ah-bid’ah yang sebenarnya dan idhafiyyah (sandaran/tambahan).
- Bid’ah-bid’ah yang jelas pengambilannya dan yang rumit tempat pengambilannya.[1]
Dengan perbedaan kaitan-kaitan ini berbedalah tingkatan bid’ah, berbeda cara berinteraksi bersama realita dalam bid’ah dan memutuskan atasnya, dan sudah menjadi keharusan memperhatikan perbedaan-perbedaan dan tingkatan-tingkatan ini.
Dan dari sisi kaitan-kaitan ini, bid’ah-bid’ah bisa dibagi menjadi dua: kecil dan besar, dan kembali kepada penjelasan sebelumnya kepada kondisinya, bisa jadi bid’ah kecil atau bid’ah besar.
Asy-Syathibi rahimahullah menetapkan pembagian bid’ah kepada bid’ah kecil dan besar dengan ketetapan jelas dari beberapa sisi. Ia berkata:
“Dalam ushul bahwa hukum-hukum syara’ ada lima, kita keluarkan darinya tiga, yaitu wajib, sunnah dan mubah, maka tersisa hukum makruh dan haram. Maka pemikiran menuntut pembagian bid’ah kepada dua bagian: di antaranya bid’ah haram dan di antaranya bid’ah makruh. Dan penjelasan hal itu bahwa ia masuk dalam lingkaran jenis yang dilarang yang tidak melewati makruh dan haram, maka bid’ah juga seperti itu, ini satu sisi.
Sisi kedua, sesungguhnya bid’ah-bid’ah apabila direnungkan akan ditemukan tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda:
Di antaranya: ada yang jelas-jelas kufur seperti bid’ah-bid’ah kaum jahiliyah yang ditegaskan dalam al-Qur`an, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَجَعَلُوا للهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَاْلأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا للهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَآئِنَا ﴾ [الأنعام: 136]
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka:"ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". (QS. al-An’aam:136)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَقَالُوا مَافِي بُطُونِ هَذِهِ اْلأَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِّذُكُورِنَا مُحَرَّمٌ عَلَى أَزْوَاجِنَا وَإِن يَّكُن مَّيْتَةً فَهُمْ فِيهِ شُرَكَآءُ ﴾ [الأنعام: 139]
Dan mereka mengatakan:"Apa yang dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami," dan jika yang dalam itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. (QS. al-An’aam:139)
Dan firman-Nya:
﴿وَقَالُوا مَافِي بُطُونِ هَذِهِ اْلأَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِّذُكُورِنَا مُحَرَّمٌ عَلَى أَزْوَاجِنَا وَإِن يَّكُن مَّيْتَةً فَهُمْ فِيهِ شُرَكَآءُ ﴾ [المائدة: 103]
Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. (QS. al-Maidah:103)
Demikian pula bid’ah orang-orang munafik, di mana mereka menjadikan agama sebagai sarana untuk menjaga jiwa dan harta, dan yang serupa hal itu tidak diragukan bahwa ia adalah kufur yang jelas.
Di antaranya ada yang termasuk maksiat yang tidak termasuk kufur atau diperdebatkan padanya, apakah termasuk kufur atau tidak? Seperti bid’ah kaum Khawarij, Qadariyah, Murji`ah dan yang seperti mereka dari golongan-golongan sesat.
Di antaranya ada yang maksiat (dosa) dan disepakati bahwa ia tidak termasuk kufur, seperti bid’ah tidak mau menikah (tabattul), puasa berdiri di matahari, mengambil biji pelir dengan tujuan memutuskan syahwat jima’.
Di antaranya ada yang makruh, seperti ucapan imam Malik rahimahullah dalam mengiringkan Ramadhan dengan puasa enam hari bulan Syawal, membaca al-Qur`an berkeliling, berkumpul untuk berdoa di sore hari Arafah, menyebut para penguasa dalam khutbah Jum’at –menurut yang dikatakan oleh Ibnu Abdus Salam asy-Syafi’i...dan yang seperti itu.
Dan sudah jelas diketahui bahwa bid’ah-bid’ah ini tidak berada dalam satu tingkat.
Sisi ketiga: sesungguhnya maksiat-maksiat, ada yang kecil dan ada yang besar. Dan hal itu dikenali dengan terjadinya pada dharuriyat atau kebutuhan atau pelengkap. Jika ia terjadi pada dharuriyat maka ia termasuk dosa terbesar. Jika terjadi pada pelengkap maka ia merupakan tingkatan terendah tanpa diragukan. Dan jika terjadi dalam kebutuhan maka ia berada di pertengahan di antara dua tingkatan.
Kemudian, sesungguhnya setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan ini ada pelengkap, dan pelengkap tidak mungkin berada satu tingkatan dengan yang dilengkapi, sesungguhnya pelengkap bersama yang dilengkapi sama seperti kedudukan sarana bersama tujuan, dan sarana tidak bisa mencapai tingkatan tujuan, maka sungguh telah jelas tingkatan-tingkatan maksiat dan kesalahan.
Juga, sesungguhnya dharuriyat, apabila engkau renungkan tentu engkau dapatkan di atas beberapa tingkatan dalam penguatan dan tidaknya:
Tingkatan jiwa tidaklah satu derajat seperti tingkatan agama, dan karena itulah dikecilkan kehormatan jiwa di sisi kehormatan agama. Maka kufur menghalalkan darah, menjaga terhadap agama membolehkan jiwa menghadapi resiko pembunuhan dengan berjihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang yang keluar dari agama.
Tingkatan akal dan harta tidak seperti tingkatan jiwa. Apakah engkau tidak memperhatikan bahwa pembunuhan membolehkan qishash, maka pembunuhan berbeda dengan akal dan harta, demikian pula yang lain.
Apabila engkau memperhatikan kedudukan jiwa, kedudukan itu berbeda, maka memotong anggota tubuh tidak seperti menyembelih, dan menggoris tidak sama seperti memotong anggota tubuh.
Apabila seperti itu, maka bid’ah termasuk jumlah maksiat dan jelas perbedaan dalam maksiat. Demikian pula dalam masalah bid’ah, di antaranya ada yang terjadi dalam masalah dharuriyat, maksudnya bahwa ada pelanggaran dengannya. Di antaranya ada yang terjadi dalam tingkatan kebutuhan. Dan di antaranya ada yang terjadi dalam tingkatan tahsiinaat (pelengkap).[2]
Dan ia berkata pula dari sisi yang lain:
‘Sesungguhnya bid’ah-bid’ah terbagi kepada: sesuatu yang kulliah (bersifat umum, menyeluruh) dalam syari’at dan kepada juz’iyah (parsial). Dan pengertian hal itu: bahwa pelanggaran yang terjadi karena bid’ah secara umum (menyeluruh/total) dalam syari’at seperti bid’ah tahsin (menganggap baik) dan taqbih (menganggap buruk) secara akal, bid’ah mengingkari berita-berita sunnah (hadits) karena merasa cukup terhadap al-Qur`an, bid’ah kaum Khawarij dalam ucapan mereka ‘Tidak ada hukum selain milik Allah’...dan yang menyerupai hal itu dari bid’ah-bid’ah yang tidak hanya tertentu satu cabang dari cabang syari’at tanpa cabang yang lain, bahkan engkau mendapatkannya tersusun yang tidak terbatas dari cabang-cabang juz`iyah. Atau pelanggaran yang terjadi secara juz’i (parsial), sesungguhnya ia datang pada sebagian cabang tanpa yang lainnya, seperti bid’ah tatswiib (mengulangi) dengan shalat yang dikatakan oleh imam Malik rahimahullah: ‘Tatswib adalah sesat’, bid’ah adzan dan iqamah pada dua shalat ied, bid’ah bertopang pada satu kaki dalam shalat, dan yang seperti itu. Maka bid’ah dalam bagian ini tidak akan melewati tempatnya dan tidak tersusun di bawahnya yang lainnya sehingga menjadi dasar baginya.
Maka bagian pertama, apabila dianggap termasuk dosa besar jel’alaihissalamah maksudnya. Dan bisa jadi termasuk di bawah keumuman tujuh puluh dua golongan, dan ancaman yang datang dalam al-Qur`an dan sunnah dikhususkan dengannya, tidak berlaku umum padanya dan pada yang lainnya. Dan selain yang demikian itu dari sisi lamam (dosa kecil) yang diharapkan mendapat maaf yang tidak terbatas dalam jumlah tersebut, maka tidak ada kepastian bahwa semuanya berasal dari satu, dan sudah jelas sisi pembagiannya.[3]
Dan ia berkata pula: Namun, kulliyah (menyeluruh/total) dan juz`i (parsial) terkadang nampak dan terkadang tidak nampak, sebagaimana ta`wil, terkadang dekat tempat pengambilannya dan terkadang jauh. Maka terjadilah kesulitan pada contoh-contoh bagian ini, maka dianggap dosa besar yang sebenarnya termasuk dosa kecil dan sebaliknya. Maka diserahkan pandangan padanya kepada ijtihad.[4]
Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan beberapa syarat kondisi bid’ah itu termasuk kecil, apabila kurang salah satu syaratnya bid’ah ini menjadi besar, ia berkata: ‘Apabila kita katakan: sesungguhnya di antara bid’ah ada yang kecil, maka hal itu dengan beberapa syarat:
Salah satunya: bahwa ia tidak terus menerus atasnya, sesungguhnya dosa kecil bagi orang yang terus menerus atasnya menjadi besar dibandingkan kepadanya, karena hal itu bersumber atas terus menerus, dan terus menerus terhadap dosa kecil membuatnya menjadi dosa besar. Dan karena itu mereka berkata: ‘Tidak ada dosa kecil disertai terus menerus dan tidak ada dosa besar disertai istighfar’,[5] demikian pula bid’ah tanpa ada perbedaan.
Syarat kedua: bahwa ia tidak mengajak kepadanya, sesungguhnya bid’ah terkadang termasuk bid’ah kecil, kemudian pembuat bid’ah itu mengajak mengucapkannya dan mengamalkan tuntutannya, maka dosa semua itu atasnya. Sesungguhnya dialah yang mengenalkannya dan menyebabkan banyak terjadi dan diamalkan dengannya. Maka sesungguhnya hadits shahih menetapkan bahwa setiap orang yang memberikan contoh yang buruk niscaya atasnya dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun juga. Dosa kecil dan besar, sesungguhnya perbedaannya menurut banyak dan sedikitnya dosa. Maka terkadang dosa kecil bisa menyamai dosa besar dari sisi atau melebihi atasnya.
Syarat ketiga: bahwa tidak dilakukan ditempat berkumpulnya manusia, atau tempat-tempat yang dilaksanakan padanya sunnah-sunnah dan nampak padanya bendera-bendera syari’at.
Adapun menampakkannya di perkumpulan orang banyak dari orang yang dijadikan panutan dengannya atau dari orang yang disangka baik, maka hal itu termasuk yang paling berbahaya terhadap sunnah Islam.
Syarat keempat: bahwa ia tidak meremehkannya, dan jika kita menganggapnya kecil maka sesungguhnya hal itu meremehkannya, dan memandang sepele suatu dosa lebih besar dari dosa itu sendiri.[6]
Namun yang nampak dari ucapannya rahimahullah bahwa syarat-syarat ini bergantung dengan ukuran dosa yang menimpa pelaku bid’ah, dan tidak berbicara tentang ukuran bid’ah itu sendiri.
Dan hukum terhadap pelaku bid’ah adalah menurut jenis bid’ah yang terjadi padanya dan tingkatannya, disertai pandangan kepada kondisi orang tersebut, dan syubhat atau takwil yang nampak baginya. Demikian pula derajat dan tingkatannya dalam ilmu dan sunnah,... hingga pertimbangan-pertimbangan lain yang mesti diperhatikan ketika menghukum terhadap orang yang terjerumus dalam bid’ah.