Search
Dan bisa disimpulkan kriteria syar’i bagi hajr dalam dua hal
Pertama, menjaga mashlahat dan merusakan.
Kedua, hukuman menurut kadar kesalahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam tata cara yang benar dalam hajr: ‘Sesungguhnya satu kaum menjadikan hal itu berlaku secara umum, maka mereka melakukan dan mengingkari sesuatu yang mereka tidak disuruh dengannya, hukumnya tidak wajib dan tidak sunnah, dan terkadang dengannya mereka meninggalkan kewajiban kewajiban dan sunnah-sunnah, dan melakukan yang diharamkan dengannya.
Dan yang lain berpaling dari hal itu secara menyeluruh, maka mereka tidak menghajr sesuatu yang mereka disuruh menghajrnya dari perbuatan dosa yang bid’ah, bahkan mereka meninggalkannya karena berpaling, bukan meninggalkan orang yang berhenti lagi membenci, atau mereka terjerumus padanya. Dan terkadang mereka meninggalkannya seperti meninggalkan orang yang membenci (perbuatan bid’ah itu) dan tidak melarang orang lain darinya dan tidak menghukum dengan hajr dan semisalnya, orang yang pantas mendapat hukuman. Maka mereka telah menyia-nyiakan nahi mungkar yang mereka disuruh melakukannya dengan perintah wajib atau sunnah. Maka mereka di antara melakukan yang mungkar atau meninggalkan yang diperintahkan, dan hal itu melakukan yang mereka dilarang darinya dan meninggalkan yang mereka disuruh dengannya, maka ini adalah ini. Dan agama Allah subhanahu wa ta’ala berada di pertengahan di antara yang ghuluw (berlebihan) padanya dan jafi (yang menjauh, meninggalkan) darinya. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.[1]
Syaikh Nashiruddin al-Albany rahimahullah berkata: ‘Politik wala` dan bara` tidak mengharuskan memusuhi satu golongan dari golongan-golongan Islam atau satu kelompok dari kelompok-kelompok Islam, akan tetapi setiap kelompok darinya harus diperlakukan dalam batas dekat dan jauhnya dari akidah Islam, atau dari berpegang dengan Islam yang benar sebagai satu kesatuan utuh. Dan memusuhi tidak datang kecuali dalam kondisi putus asa dari memperbaiki dan membimbingnya. Maka di sini datang sesuatu yang dikenal dengan benci/marah karena Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun pada awalnya, tidak sewajarnya seorang muslim memusuhi seseorang dari kelompok-kelompok Islam, sekalipun menyalahi akidahnya.[2]
Maka dari sudut pandang perbedaan kedudukan dari sisi dosa, ia terdiri dari beberapa sisi[3]:
- Dari sisi kondisinya kafir atau tidak kafir.
Maka yang mengkafirkan seperti Babiyah, Bahaiyyah dan Qadiyaniyyah.
Dan yang tidak mengkafirkan seperti umumnya bid’ah dalam ibadah, secara hakikat atau idhafah.
- Dari sisi pelakunya bersembunyi dengannya atau menampakkan diri. Jika ia menampakkanya maka ia berhak mendapatkan hukuman, berbeda orang yang menyembunyikan, maka ia tidak lebih buruk dari pada orang-orang munafik yang Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima yang mereka nampakkan dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menyerahkan urusan batin mereka kepadanya, ini dan mereka berada di lapisan paling bawah dari api neraka.[4]
Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Karena alasan ini dan semisalnya, kaum muslimin berpendapat agar menghajr orang yang nampak tanda-tanda penyimpangan atasnya dari orang-orang yang menampakkan bid’ah dan mengajak kepadanya, serta yang menampakkan dosa besar. Adapun orang yang menyembunyikan maksiatnya atau menyembunyikan bid’ah yang mengkafirkan, maka sesungguhnya ini tidak dihajr. Sesungguhnya yang dihajr adalah yang mengajak kepada bid’ah, karena hajr adalah satu jenis hukuman, dan sesungguhnya yang dihukum adalah yang menampakkan maksiat secara ucapan dan perbuatan.[5]
- Dan dari sisi kondisinya hakikat atau idhafah:
Maka bid’ah hakikat adalah bid’ah ibadah yang baru secara menyendiri seperti shalat raghaib, bukan bid’ah idhafiyah, dan seperti shalat qadar, shalat alfiyyah di malam nisfu Sya’ban, bid’ah maulid, hari-hari besar pemerintah, ied Ghadir kham di kalangan Syi’ah...dan seterusnya.
Dan bid’ah idhafiyyah: yaitu perkara bid’ah yang disandarkan kepada sesuatu yang disyari’atkan pada dasarnya dengan tambahan dan pengurangan. Contohnya adalah: berdoa secara berjama’ah setelah shalat. Doa adalah sesuatu yang disyari’atkan dan menjadikannya berjamaah adalah bid’ah yang disandarkan yang tidak ada nashnya. Dasar semua ibadah adalah tauqif (berdasarkan wahyu, akal tidak punya peran di dalamnya). Dan sujud syukur secara berjama’ah, menjadikan tabligh (penyambung takbir imam) di belakang imam sebagai suatu kebiasaan rutin padahal tidak diperlukan,..dan seterusnya.
- Dan dari sisi kondisinya jelas atau sulit/rumit:
Maksudnya kondisinya jelas tempat pengambilannya, maka ia adalah bid’ah, maka ia adalah bid’ah murni seperti bid’ah-bid’ah upacara pemakaman dan maulid, shalat Raghaib... Atau bid’ah yang padanya ada kemungkinan karena samar tempat pengambilannya, contohnya: qunut dalam shalat isya` dan subuh. Memang hal itu pernah terjadi kemudian dinasakh dan tetap disyari’atkan padanya saat peristiwa tertentu, dan adanya syubhat khilaf (perbedaan pendapat) tidak menjadikannya disyari’atkan secara rutin.
Pada hakikatnya sesungguhnya sisi ini hanya pada gambaran saja, bukan pada hakikatnya, karena bid’ah-bid’ah berbagai macam bentuk pengambilanya bersumber dari isu-isu dan sikap fanatik buta tidaklah menjadikannya jelas. Wallahu A’lam.[6]
- Dan dari sisi ijtihadnya padanya atau kondisinya muqallid (pengikut):
Mujtahid adalah orang yang menciptakan bid’ah, kecenderungan kepada kesesatan lebih mungkin di hatinya dari pada pengikut, sekalipun keduanya berdosa, akan tetapi dosa orang yang memberikan contoh yang buruk lebih besar dosanya. Wallahu A’lam.[7]
- Dan dari sisi terus menerus melakukannya atau tidak:
Adapun terus menerus melakukannya maka ia menjadikannya dari bab (pintu) berdakwah kepadanya. Adapun yang tidak terus menerus melakukannya maka ia masuk dari pintu kekeliruan dan kekhilafan seorang alim, apabila ia melakukan kemudian tidak pernah mengulanginya lagi.[8]
- Dan berbeda sesuai perbedaan kondisi orang yang melakukan kesalahan (ahli bid’ah) dan yang ada padanya berupa kebaikan dan keburukan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Apabila tergabung pada seorang laki-laki kebaikan dan keburukan, fasik dan taat, maksiat, sunnah dan bid’ah: ia berhak mendapatkan perlakukan wala` (loyal) dan pahala sekadar kebaikan yang ada padanya, dan ia pantas dimusuhi dan hukuman menurut kadar keburukan yang ada padanya. Maka tergabung pada seseorang beberapa perkara yang mengharuskan mendapatkan penghormatan dan penghinaan. Maka tergabung baginya dari ini dan itu, seperti pencuri yang fakir, dipotong tangannya karena ia mencuri dan diberikan dari baitul mal yang mencukupi kebutuhannya. Inilah dasar yang disepakati oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah...[9]
- Dan berbeda di antara seorang alim yang jiwanya menyerap dengan bid’ah akan tetapi ia tidak bergabung/bercambur dengan ulama Ahlus Sunnah dan tidak mengambil ilmu dari mereka, dan di antara seorang alim yang mengambil ilmu dari ahli bid’ah, kemudian ia bergabung dengan ahlus sunnah dan para ulama mereka, berkumpul bersama mereka satu masa yang bisa mendapatkan keyakinan, bahkan ia bergaul dengan mereka puluhan tahun. Kemudian ia tetap berada di atas serapan bid’ah yang terus dilakukannya, berdakwah kepadanya, terus menerus atasnya. Maka orang ini telah berdiri tegak hujjah atasnya lebih banyak dan jelas bukti-bukti baginya maka ia tidak lebih melihat. Ia adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang paling berdosa dan benci terhadap Ahlus Sunnah. Maka yang pertama dalam menjinakkan hatinya untuk kembali kepada Ahlus Sunnah masih ada harapan. Adapun yang kedua, maka tidak. Bahkan wajib mendiamkannya dan menjauhinya, dan memberikan hukuman secara syar’i atasnya, menghajrnya setelah mati sebagaimana menghajrnya ketika masih hidup. Maka orang shalih tidak menshalatkannya dan tidak mengikuti jenazahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pada sebagian pelaku maksiat yang menampakkan kefasikan mereka: ‘Adapun bila seseorang menampakkan kemungkaran tentu wajib mengingkarinya secara terbuka dan tidak tersisa baginya ghibah (boleh menggunjingnya dalam masalah ini), dan harus dihukum secara terbuka dengan suatu hukuman yang membuatnya jera dari hal itu berupa didiamkan dan yang lainnya. Maka tidak boleh diberi salam kepadanya dan tidak dijawab salamnya, apabila yang melakukan hal itu bisa melakukannya tanpa berakibat kerusakan yang lebih buruk.
Sudah selayaknya para tokoh agama menghajrnya setelah wafat, sebagaimana menghajrnya ketika masih hidup, apabila hal itu bisa membuat jera para pelaku dosa, maka mereka tidak melayat jenazahnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah beberapa kali tidak menshalatkan pelaku dosa. Dan sebagaimana dikatakan kepada Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu[10]: Sesungguhnya anakmu meninggal semalam.’ Ia berkata: ‘Jika ia meninggal aku tidak menshalatkannya.’ Maksudnya, sesungguhnya ia membantu membunuh dirinya maka ia sama seperti membunuh dirinya, dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menshalatkan orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Demikian pula Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr tiga orang sahabat yang menampakkan dosa mereka dalam tidak ikut berjihad yang wajib sampai Allah subhanahu wa ta’ala menerima taubat mereka. Maka bila ia menampakkan taubat niscaya nampak kebaikan baginya...[11]
- Dan dibedakan dalam kondisi yang dihajar di antara yang mempunyai iman yang kuat dan yang lemah padanya. Sesungguhnya yang kuat dihukum dengan yang lebih berat dari pada yang lemah dalam agama, sebagaimana dalam cerita Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dua temannya.[12]
- Demikian pula menurut kondisi tempat:
Beda di antara tempat-tempat yang banyak bid’ah padanya, sebagaimana banyak Qadariyah di Bashrah, peramal di Khurasan, Syi’ah di Kufah dan di antara yang tidak ada yang demikian itu.[13] Dan ini menurut yang difatwakan imam Ahmad dan yang lainnya, dibangun atas dasar ini: menjaga mashlahat syar’iyah. ‘Dan berbeda menurut perbedaan orang yang menghajr dalam kekuatan dan kelemahan mereka, sedikit dan banyaknya mereka.[14]
Apabila mayoritas dan yang nampak bagi Ahlus Sunnah niscaya disyari’atkan hajr terhadap ahli bid’ah berdiri menurut asalnya. Dan jika kekuatan dan mayoritas bagi ahli bid’ah –tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala- maka ahli bid’ah dan yang lain tidak akan tersadar dengan tindakan hajr dan tidak bisa diperoleh tujuan syar’i, niscaya tidak disyari’atkan hajr dan yang terbaik adalah cara pendekatan karena khawatir bertambah keburukan.
Dan ini seperti kondisi yang disyari’atkan bersama musuh: terkadang berperang, terkadang berdamai, dan terkadang diambil jizyah. Semua itu tergantung kondisi dan mashlahat.[15]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata: ‘Adapun menghajr mereka maka ini menjadi keharusan terhadap bid’ah. Apabila bid’ah itu menyebabkan kafir wajiblah menghajr. Apabila kurang dari itu, maka sesungguhnya kita tawaqquf (berhenti) dari menghajrnya, jika dalam menghajrnya adalah mashlahat maka kita melakukannya dan jika tidak ada mashlahat padanya niscaya kita menjauhinya. Hal itu dikarenakan bahwa pada dasarnya haram menghajr orang yang beriman, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَايَحِلُّ لِرَجُلٍ مُؤْمِنٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ » [ أخرجه البخاري ومسلم ]
“Tidak boleh bagi seseorang yang beriman menghajr saudaranya lebih dari tiga hari.”[16]
Maka setiap orang beriman, sekalipun ia fasik, haram menghajrnya selama tidak ada mashlahat dalam menghajrnya. Jika ada mashlahat dalam menghajrnya kita menghajrnya, karena hajr dalam kondisi itu menjadi obat. Adapun bila tidak ada mashlahat padanya atau bertambah maksiat dan pembangkangan padanya, maka sesungguhnya yang tidak ada mashlahat padanya maka meninggalkannya adalah mashlahat.[17]
Di masa sekarang, fitnah sangat besar dan bid’ah tersebar luas. Ahli bid’ah merupakan simbol di sebagian negara...mereka meninggikan bid’ah mereka dan mempublikasikannya.
Dan di sebagian negara, jika sunnah lemah nampaklah bid’ah dan jika sunnah kuat niscaya bid’ah mengerucut. Dan tidak samar terhadap orang yang melihat lagi mengetahui sumber pengambilan mazhab mereka yaitu mereka mengarang buku-buku propaganda untuk mazhab mereka, sehingga mempengaruhi akidah orang-orang yang jahil. Sebagaimana diberikan banyak kesempatan terhadap mereka untuk memasukkan bid’ah-bid’ah mereka di setiap rumah lewat stasiun televisi dan majalah serta lewat setiap cara yang bisa mereka lakukan.
Realita pada hari ini menjadi saksi terhadap apa yang kami katakan! Apakah perkaranya dibiarkan dan seolah-olah sesuatu yang tidak pernah terjadi? Ataukah dakwah kepada kebenaran dan sunnah merupakan suatu keharusan, semua menurut kadarnya. Kebutuhan yang sangat terhadap amar ma’ruf dan nahi munkar, meluruskan akidah, dan melakukan segala upaya untuk menghalangi kebatilan dan pelakunya?!!