Search
Riwayat orang yang menyalahi (ahli bid’ah) dan hukum menerimanya
Termasuk yang dihubungkan dalam masalah ini adalah riwayat ahli bid’ah, mayoritas ulama membedakan dalam masalah ini di antara ahli bid’ah menurut kadar bid’ahnya, menurut kadar semangat dan aktifitas mereka terhadap bid’ah ini. Mereka membedakan di antara pelaku bid’ah yang dikafirkan dan pelaku bid’ah yang fasik, dan di antara yang mengajak kepada bid’ah dan tidak mengajak.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: ‘Para ulama dari kalangan ahli hadits, fuqaha, ahli ushul berkata: ‘Ahli bid’ah yang dianggap kafir karena bid’ahnya tidak diterima riwayatnya dengan ittifaq (konsensus).[1]
Al-Mu’allimy[2] rahimahullah berkata: ‘Tidak ada syubhat (kesamaran) bahwa jika ahli bid’ah keluar dengan bid’ahnya dari Islam niscaya tidak diterima riwayatnya, karena termasuk syarat riwayat adalah Islam.[3]
Kemudian jika bid’ah tersebut tidak menyebabkan kufur, maka dilihat padanya; dibedakan di antara bid’ah kecil dan bid’ah besar. Dan dibedakan di antara orang yang bid’ahnya menjerumuskannya dalam menghalalkan dusta dan di antara orang yang bid’ahnya sangat jauh dari menghalalkan dusta.
Adz-Dzahaby rahimahullah berkata dalam biografi Aban bin Taghlib al-Kufy asy-Syi`iy: ‘Aban bin Taghlib al-Kufy, seorang syi’ah yang kuat, akan tetapi dia shaquq (jujur). Maka untuk kita kejujurannya dan atasnya bid’ahnya.
Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim rahimahumullah mentsiqahkannya. Dan Ibnu ‘Ady rahimahullah menyebutkannya dan berkata: ‘Dia seorang yang ghuluw dalam keyakinan syi’ah.’ As-Sa’dy rahimahullah berkata: ‘Seorang yang menyimpang secara terang-terangan.’
Seseorang bisa berkata: ‘Bagaimana bisa mentsiqahkan ahli bid’ah, sementara definisi tsiqah adalah ‘adil dan itqaan? Bagaimana mungkin dianggap ‘adil dari seorang ahli bid’ah?
Jawabannya adalah: sesungguhnya bid’ah terbagi dua: bid’ah kecil seperti ghuluw tasyayyu`[4] atau tasyayyu’ tanpa ghuluw dan tahrif. Yang seperti ini banyak pada generasi tabi’in dan pengikut mereka disertai agama yang kuat, wara` dan jujur. Jika ditolak hadits mereka niscaya hilanglah sejumlah besar riwayat-riwayat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, dan ini merupakan kerusakan yang nyata.
Kemudian bid’ah besar seperti Rafidhah yang sempurna dan ghuluw padanya, merendahkan derajat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu dan mengajak kepada hal itu. Maka jenis ini tidak dijadikan hujjah dengan mereka dan tidak ada kemuliaan bagi mereka. Juga yang ada dalam jenis ini berupa seseorang yang tidak jujur dan tidak bisa dipercaya, bahkan bohong adalah syi’ar (pakaian luar) mereka, taqiyah dan nifak adalah pakaian dalam mereka, maka bagaimana bisa diterima riwayat dari orang yang kondisinya seperti ini? Sekali-kali tidak.
Syi’ah ghuluw yang ada di masa salaf dan pandangan umum di tengah mereka adalah orang yang berbicara dan mencela Utsman, Zubair, Thalah, dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum ajma’in, dan golongan yang memerangi Ali radhiyallahu ‘anhu. Semestara syi’ah ghuluw yang ada di masa kita dan pandangan umum kita adalah orang-orang yang mengkafirkan mereka dan berlepas diri dari Syaikhain (Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhu). Ini adalah adalah orang sesat, Aban bin Taghlib tidak pernah sama sekali berbicara terhadap Syaikhaian (tidak pernah mencela mereka), akan tetapi ia mungkin meyakini Ali radhiyallahu ‘anhu lebih utama dari keduanya.[5]
Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah berkata: ‘Sekelompok ulama berpendapat untuk menerima berita ahli ahwa (ahli bid’ah) yang tidak dikenal dari mereka menghalalkan dusta dan bersaksi untuk orang yang sependapat mereka dengan sesuatu yang tidak ada persaksian di sisi mereka padanya.[6]
An-Nawawi rahimahullah berkata: ‘Dan yang tidak kafir, ada yang berkata: Tidak dijadikan hujjah sama sekali dengannya. Ada yang berkata: Dijadikan hujjah dengannya jika ia tidak termasuk orang yang menghalalkan dusta dalam membela mazhabnya atau pengikut mazhabnya.[7]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Dan menolak persaksian orang yang dikenal berdusta adalah perkara yang disepakati di antara fuqaha ( ahli fikih).’ Dan ia berkata: ‘Semua ulama sepakat bahwa dusta pada kalangan Rafidhah lebih nampak darinya pada semua ahli qiblat (kaum muslimin).
Sehingga pengarang kitab Shahih seperti al-Bukhari, tidak meriwayatkan dari seorang pun dari kalangan syi’ah qudama (terdahulu), seperti Ashim bin Dhamrah, Harits al-A’war, Abdullah bin Salamah, dan semisal mereka. Padahal mereka termasuk kalangan Syi’ah yang terbaik. Pengarang kitab Shahih hanya meriwayatkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu dari ahli baitnya, seperti Hasan radhiyallahu ‘anhu, Husain radhiyallahu ‘anhu, Muhammad bin Hanafiyah rahimahullah, dan penulisnya Ubaidullah bin Abi Rafi’ rahimahullah, atau dari pengikut Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu seperti ‘Ubaidah as-Salmani rahimahullah, Harits bin Qais rahimahullah, atau dari orang yang serupa mereka. Mereka adalah para imam dalam riwayat dan ahli naqd (kritik) termasuk manusia yang paling jauh dari hawa nafsu, paling mengatakan terhadap kebenaran, tidak takut pada Allah subhanahu wa ta’ala celaan orang yang mencela.
Bid’ah bermacam-macam, kaum Khawarij, kendati mereka melewati Islam sebagaimana anak panah melewati sasaran (target, hewan buruan), Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyuruh memerangi mereka, para sahabat dan ulama Islam sepakat untuk memerangi mereka, dan shahih hadits pada mereka dari sepuluh jalur yang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya, al-Bukhari meriwayatkan tiga darinya: mereka tidak termasuk orang yang sengaja berdusta, bahkan mereka terkenal jujur. Sehingga dikatakan: Sesungguhnya hadits mereka termasuk hadits paling shahih, akan tetapi mereka bodoh dan tersesat dalam bid’ah mereka.[8]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam pembicaraannya tentang hukum riwayat ahli bid’ah dan ucapan para ulama padanya: ‘Dan dikatakan: ‘Diterima secara mutlak kecuali jika ia meyakini dusta.’[9]
As-Sayuthi rahimahullah berkata dalam memberi komentar terhadap ucapan an-Nawawi rahimahullah: ‘Dan ada yang berkata: Diambil hujjah dengannya jika ia bukan termasuk orang yang menghalalkan berdusta dalam membela mazhabnya, sama saja ia berdakwah atau tidak, dan tidak diterima jika ia menghalalkan hal itu.[10]
Al-Mu’allimy rahimahullah berkata dalam hukum riwayat ahli bid’ah: ‘...dan sesungguhnya jika ia menghalalkan dusta, maka bisa jadi ia kufur dengan hal itu dan bisa jadi ia fasik. Maka jika kita memaafkannya, maka di antara syarat diterima riwayat adalah jujur, maka tidak bisa diterima riwayatnya.[11]
Jika ahli bid’ah keluar dari golongan yang terdahulu –artinya bukan termasuk ahli bid’ah besar yang menyebabkan kufur- dan tidak termasuk orang yang membolehkan dusta, terjadilah perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menerima riwayatnya.
Ibnu Shalah rahimahullah berkata: ‘Mereka berbeda pendapat dalam menerima riwayat ahli bid’ah yang tidak kufur dengan bid’ahnya: di antaranya ada yang menolak bid’ahnya karena ia seorang yang fasik dengan bid’ahnya, sebagaimana sama dalam kufur orang yang bertakwil dan yang tidak, sama pula dalam fasik orang yang bertakwil dan tidak. Di antara mereka ada yang menerima riwayat ahli bid’ah apabila ia bukan termasuk orang yang membolehkan dusta dalam membela mazhabnya atau pengikut mazhabnya. Sama saja ia mengajak (berdakwah) kepada bid’ahnya atau tidak, sebagian mereka menyandarkan hal ini kepada imam Syafi’i rahimahullah karena ucapannya: ‘Aku menerima persaksian ahlil ahwa (pengikut hawa nafsu/ahli bid’ah) kecuali golongan Khathabiyah dari golongan Rafidhah, karena mereka membolehkan bersaksi palsu untuk orang yang sepaham mereka.’ Satu kaum berkata: ‘Diterima riwayatnya apabila tidak mengajak kepada bid’ahnya dan tidak diterima apabila ia berdakwah.’ Ini adalah mazhab mayoritas ulama. Sebagian pengikut imam asy-Syafi’i rahimahullah menghikayatkan perbedaan pendapat di antara mereka dalam menerima riwayat ahli bid’ah apabila tidak mengajak kepada bid’ahnya dan ia berkata: Adapun bila ia berdakwah maka tidak ada perbedaan di antara mereka dalam tidak diterima riwayatnya.
Abu Hatim bin Hibban al-Busty rahimahullah, salah seorang pengarang dari ulama hadits berkata: ‘Pengajak kepada bid’ah tidak boleh berhujjah dengannya menurut pendapat semua imam kita, saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka.’
Mazhab yang ketiga ini adalah yang paling adil dan paling utama. Pendapat pertama sangat jauh karena sudah tersebar di kalangan para ulama hadits, sesungguhnya kitab-kitab mereka penuh dengan riwayat dari ahli bid’ah yang bukan pengajak, dan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) banyak ditemukan hadits-hadits mereka dalam syawahid (hadits penguat/pendukung) dan ushul. Wallahu A’lam.[12]
Membedakan di antara da’i dan bukan adalah pendapat mayoritas ulama seperti yang telah dijelaskan, bahkan Ibnu Hibban rahimahullah mengutip ijma’ atas pendapat ini, sekalipun pengakuan ijma’ tidaklah benar.
Dan di antara ulama yang dikutip darinya ucapan ini adalah Abdullah bin Mubarak rahimahullah, berdasarkan riwayat al-Khathib rahimahullah dengan sanadnya kepada Ali bin Hasan bin Syaqiq rahimahullah, ia berkata: ‘Aku berkata kepada Abdullah bin Mubarak: ‘Apakah engkau pernah mendengar dari ‘Amar bin ‘Ubaid? Maka ia mengisyaratkan dengan tangannya seperti ini, maksudnya banyak. Aku berkata: ‘Kenapa engkau tidak menyebutkannya, sedangkan engkau menyebutkan selainnya dari golongan Qadariyah? Ia menjawab: ‘Karena sesungguhnya ini termasuk kepala (pimpinan).’[13]
Ucapan ini juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Mahdy rahimahullah. Al-Khathib rahimahullah meriwayatkan darinya bahwa ia berkata: ‘Siapa yang berpendapat satu pendapat (yang bid’ah) dan tidak mengajak kepadanya ia bisa jadi (diterima riwayatnya) dan siapa yang berpendapat satu pendapat (bid’ah) dan mengajak kepadanya sungguh ia berhak ditinggalkan (riwayatnya).[14] Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan darinya bahwa ia berkata: ‘Ilmu ditulis dari pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah) dan boleh persaksian mereka selama mereka tidak berdakwah. Apabila ia berdakwah kepadanya niscaya tidak ditulis hadits dari mereka dan tidak boleh persaksian mereka.’[15]
Dan di antara yang mengatakan hal ini adalah imam Ahmad rahimahullah: al-Khathib rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya kepada Abu Daud Sulaiman bin As’ts rahimahullah, ia berkata: ‘Aku berkata kepada Ahmad: ‘Apakah ditulis hadits dari seorang qadary? Ia menjawab: ‘Apabila ia tidak berdakwah.’[16]
Dalam Thabaqat Hanabilah karya Abu Ya’la, dari Ja’far bin Muhammad, ia berkata: ‘Wahai Abu Abdillah, apakah engkau meriwayatkan dari Abu Mu’awiyah sedangkan ia seorang Murji`ah? Ia menjawab: ‘Ia tidak berdakwah (kepada bid’ahnya).[17]
Al-Baghawi rahimahullah berkata: ‘Imam Ahmad rahimahullah ditanya: ‘Apakah ditulis (hadits) dari seorang Murji’ah dan Qadariyah, serta selain mereka dari ahli ahwa`? Ia menjawab: ‘Apabila ia tidak berdakwah kepadanya dan banyak pembicaraan padanya. Adapun orang yang berdakwah kepadanya maka tidak (diriwayatkan hadits darinya).’[18]
Pendapat ini juga diriwayatkan dari imam Malik rahimahullah, berdasarkan riwayat Ibnu Abdil Barr rahimahullah, ia berkata: ‘Ilmu tidak diambil dari empat golongan: Orang bodoh yang nyata kebodohannya, pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah) yang berdakwah kepadanya, seseorang yang terkenal berdusta dalam pembicaraan di tengah manusia sekalipun ia tidak berdusta terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan seseorang yang memiliki keutamaan dan shalih yang tidak mengetahui apa yang dia riwayatkan’.[19] Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Kami telah menyebutkan berita ini dari imam Malik rahimahullah dari beberapa jalur dalam at-Tamhid.’
Al-Khathib rahimahullah menyandarkan kepada imam Malik rahimahullah pendapat menolak riwayat ahli bid’ah secara mutlak (absolot) seperti yang telah lalu, dan pendapat menolak pendapat riwayat ahli bid’ah yang berdakwah dan menerima yang tidak berdakwah adalah yang masyhur darinya menurut para ahli tahqiq.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Dan karena inilah imam Ahmad rahimahullah dan mayoritas imam sesudah dan sebelumnya seperti imam Malik rahimahullah dan yang lainnya tidak menerima riwayat orang yang berdakwah kepada bid’ah dan tidak duduk bersamanya, berbeda dengan yang diam.’[20]
Abdurrahman al-Mu’allimy rahimahullah berkata: ‘Adapun yang tidak berdakwah maka sudah lewat kutipan ijma’ bahwa ia sama seperti sunny, apabila terbukti ‘adilnya niscaya diterima riwayatnya.’ Dan diriwayatkan dari Malik rahimahullah yang sama seperti itu. Dan dikatakan dari Malik rahimahullah: bahwa ia tidak meriwayatkan darinya juga, dan yang dilakukan adalah yang pertama.[21]
Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam Syarh Sunnah: ‘Demikian pula mereka berbeda pendapat dalam riwayat ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu, mayoritas ahli hadits menerimanya apabila mereka jujur padanya. Muhammad bin Ismail telah meriwayatkan dari ‘Abbad bin Ya’qub ar-Rawijini. Dan Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami seseorang yang jujur dalam riwayatnya, tertuduh dalam agamanya: ‘Abbad bin Ya’qub!!
Al-Bukhari rahimahullah berhujjah pula dalam Shahih dengan Muhammad bin Ziyad al-Alhani dan Hirriz bin Utsman ar-Rahby, dan masyhur dari keduanya an-Nashb (golongan yang membenci Ali bin Abu Thalib, kebalikan dari Syi’ah). al-Bukhari dan Muslim sepakat berhujjah dengan Abu Mu’awiyah Muhammad bin Hazim adh-Dharir dan Ubaidullah bin Musa, dan terkenal dari keduanya sikap ghuluw.
Adapun Malik bin Anas rahimahullah, ia berkata: ‘Tidak diambil hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dari pengikut hawa nafsu yang mengajak (berdakwah) kepada hawa nafsunya (bid’ahnya), tidak pula dari pendusta yang berdusta pada hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sekalipun engkau tidak menuduhnya berdusta terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.’ Yang menyebutkan perbedaan pendapat ini adalah al-Hakim Abu Abdillah dalam kitabnya tentang pembahasan menerima riwayat mereka.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya: ‘Apakah ditulis hadits dari seorang Murji`ah dan Qadariyah serta selain mereka dari ahli bid’ah? Ia menjawab: ‘Ya, apabila ia tidak berdakwah kepadanya dan tidak banyak pembicaraan atasnya. Adapun bila ia berdakwah (kepada bid’ahnya) maka tidak.’[22]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Karena inilah tidak ada dalam kitab-kitab induk mereka (Ahli Hadits) seperti Shahih, Sunan, dan Masanid, riwayat dari orang-orang yang terkenal berdakwah kepada bid’ah, sekalipun padanya ada riwayat dari orang yang padanya jenis bid’ah, seperti Khawarij, Syi’ah, Murji`ah, dan Qadariyah. Dan penjelasan hal itu karena mereka (para pengarang kitab hadits) tidak meninggalkan riwayat dari mereka karena fasik yang diduga oleh sebagian mereka, akan tetapi siapa yang menampakkan bid’ahnya niscaya wajiblah mengingkarinya, berbeda dengan orang yang menyamarkan dan menyembunyikannya. Apabila wajib mengingkarinya, niscaya yang termasuk mengingkarinya adalah menghajrnya (tidak menyapanya) hingga ia berhenti dari menampakkan bid’ahnya. Dan termasuk menghajrnya adalah tidak diambil ilmu darinya dan tidak dijadikan syahid (hadits penguat).[23]
Dan demikian pula di antara cabang pembahasan tentang perbedaan bid’ah dan tingkatan-tingkatannya: bab hukuman dan ta’zir (efek jera) bagi yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sungguh sangat banyak riwayat dari salaf tentang hukuman terhadap ahli bid’ah dengan berbagai macam hukuman; berupa ditahan, dipukul, dicambuk, diasingkan, dihinakan, dan dihajr.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata pada Qadariyah: ‘Jika aku melihat salah seorang dari mereka niscaya aku mengambil rambutnya.[24] Dan ia berkata: ‘Jika aku melihat salah seorang dari mereka niscaya aku menggigit hidungnya.’[25]
Dikatakan kepada Nafi’ rahimahullah: ‘Sesungguhnya laki-laki ini berbicara tentang Qadar’...maka ia mengambil segenggam pasir lalu melemparkan ke wajahnya.[26]
Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah rahimahullah bahwa ia melakukan hal itu terhadap seorang laki-laki yang datang kepadanya, ia berkata kepadanya: ‘Seorang laki-laki berzinah.’ Salim rahimahullah berkata: ‘Ia meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ia bertaubat kepada-Nya.’ Laki-laki itu berkata: ‘Apakah Allah subhanahu wa ta’ala mentaqdirkan hal itu kepadanya? Salim rahimahullah berkata: ‘Ya.’ Kemudian ia mengambil segenggam pasir lalu memukulkannya ke wajah laki-laki itu seraya berkata: ‘Berdirilah.’[27]
Dari Malik rahimahullah, ia berkata: ‘Al-Qur`an adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala.’ Dan ia berkata: ‘Siapa yang berkata ‘al-Qur`an adalah makhluk’ dia harus dipukul dan ditahan hingga meninggal dunia.’[28]
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ia berkata: ‘Aku bertanya kepada bapakku tentang seorang laki-laki yang melakukan bid’ah yang dia mengajak kepadanya, ia mempunyai beberapa penyeru (juru dakwah) kepadanya, apakah engkau berpendapat bahwa ia harus ditahan? Ia menjawab: ‘Ya, saya berpendapat bahwa ia harus ditahan, agar bid’ahnya tidak menyebar di tengah kaum muslimin.’[29]
Dari Abul Hasan al-Lakhmy rahimahullah –dari pemuka mazhab Maliki- ia ditanya tentang kaum Ibadhiyah yang tinggal di tengah-tengah kaum muslimin dan membangun masjid yang mereka berkumpul di dalamnya dan mereka menampakkan mazhab mereka. Beliau menjawab: ‘Apabila kaum yang disebutkan menampakkan mazhabnya, mengumumkanya, membangun masjid yang mereka berkumpul di dalamnya, dan shalat ied berjamaah menjauh dari kaum muslimin, maka ini adalah pintu besar yang dikhawatirkan nantinya bertambah kuat, merusak agama kaum muslimin, dan orang-orang bodoh dan yang tidak bisa membedakan cenderung kepada mereka, maka pemerintah berkewajiban menyuruh mereka bertaubat dari keyakinan mereka. Maka jika mereka tidak kembali mereka harus dipukul dan dipenjara. Jika mereka tetap dalam keyakinan mereka, maka diperselisihkan hukum membunuh mereka. Adapun menghancurkan masjid yang mereka bangun maka suatu kebenaran dan semua yang mereka berkumpul padanya juga seperti itu...[30]
Dan sebaliknya, ada beberapa atsar salaf yang berbeda dari yang telah disebutkan.
Abu Daud rahimahullah berkata: ‘Aku berkata kepada Ahmad rahimahullah: ‘Kami memiliki beberapa kerabat yang berpendapat irja` (Murji`ah), bolehkah kami menulis surat ke Khurasan mengucap salam kepada mereka? Ia menjawab: ‘Subhanallah, kenapa engkau tidak mengucap salam kepada mereka?
Dan dalam riwayat lain ia berkata: ‘Aku berkata kepada Ahmad rahimahullah: ‘Apakah kami berbicara dengan mereka? Ia menjawab: ‘Ya, kecuali ia berdakwah dan memusuhi padanya.’[31]
Bahkan diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, sebagaimana Ibnu Muflih al-Hanbaly rahimahullah membuat satu judul dalam kitabnya ‘Adabus Syar’iyyah’, ia berkata: Pasal dalam melarang menahan ahli bid’ah karena bid’ah mereka: al-Marudzi rahimahullah berkata: ‘Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang satu kaum ahli bid’ah yang menentang dan mengkafirkan? Ia berkata: ‘Janganlah kamu menyentuh mereka.’ Aku berkata: ‘Kenapa engkau tidak suka mereka ditahan? Ia menjawab: ‘Mereka mempunyai ibu dan saudari.’
Aku berkata: ‘Mereka telah menahan seseorang dan berbuat aniaya kepadanya. Mereka meminta kepadaku agar aku berbicara pada perkaranya sehingga ia keluar.’ Ia menjawab: ‘Jika salah seorang dari mereka ditahan maka tidak.’ Kemudian Abu Abdillah berkata: ‘Ini adalah tetangga kami, laki-laki itu ditahan dan meninggal di penjara.’ Saya menduga ia berkata beberapa kali: ‘Bagaimana Abu Bakar bin Khallad rahimahullah meriwayatkan? Aku berkata kepadanya: ‘Ia (Abu Bakar) berkata: ‘Aku duduk di sisi Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, lalu datang Fudhail rahimahullah, ia berkata: ‘Janganlah kalian duduk bersamanya –maksudnya Ibnu Uyainah- engkau menahan seseorang dalam penjara? Apakah engkau merasa aman apa yang akan terjadi padanya dalam penjara? Berdiri dan keluarkan dia.’ Abu Abdillah merasa kagum dan menganggapnya baik.’[32]
Perbedaan sikap dan pendirian salafus shalih dalam menghadapi ahli bid’ah dari sisi memberikan hukuman kepada mereka kembali kepada perbedaan bid’ah tersebut dan kondisi para pelakunya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata setelah menyebutkan sebagian hukuman terhadap ahli bid’ah: ‘Apabila sudah diketahui bahwa ini termasuk sisi hukuman secara syar’i, niscaya diketahui bahwa ia berbeda tergantung perbedaan kondisi, dari sedikit bid’ah dan banyaknya, nampak sunnah dan samarnya, dan sesungguhnya yang disyari’atkan terkadang dengan cara pendekatan dan terkadang dengan cara hajr (tidak disapa), sebagaimana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melakukan pendekatan terhadap beberapa kaum musyrikin yang baru masuk Islam dan orang yang dikhawatirkan fitnah terhadapnya, maka beliau shallallahu ‘alahi wa sallam memberi kepada yang dijinakkan hatinya (mu`allaf) a sesuatu yang tidak diberikan kepada selain mereka.
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda dalam hadis shahih:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنِّي أُعْطِي رِجَالًا وَأَدَعُ رِجَالاً, وَالَّذِي أَدَعُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الَّذِي أُعْطِي, أَعْطِي رِجَالاً لِمَا جَعَلَ اللهُ فِى قُلُوْبِهِمْ مِنَ الْهَلَعِ وَالْجَزَعِ وَأَدَعُ رِجَالاً لِمَا جَعَلَ اللهُ فِى قُلُوْبِهِمْ مِنَ الْغِنَى وَالْخَيْرِ, مِنْهُمْ عَمْرُو بْنُ تَغْلِب » [ أخرجه البخاري ]
‘Sesungguhnya aku memberikan kepada beberapa orang dan meninggalkan yang lain, dan yang tidak kuberi lebih kucintai dari para yang kuberi. Aku memberi kepada beberapa orang laki-laki karena Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan dalam hati mereka rasa keluh kesah dan gelisah, dan aku tidak memberi kepada beberapa orang laki-laki karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan dalam hati mereka berupa rasa kaya dan kebaikan, di antara mereka adalah Amar bin Taghlib.’[33]
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنِّي أُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ النَّارَ » [ أخرجه أبو داود والنسائي ]
‘Sesungguhnya aku memberi kepada seorang laki-laki dan yang lain lebih kucintai dari padanya, karena khawatir Allah subhanahu wa ta’ala menjerumuskan dia di neraka.’[34] Atau ucapan seperti itu.
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr sebagian orang beriman, seperti beliau menghajr tiga orang yang tertinggal dari perang Tabuk, karena tujuannya adalah mengajak makhluk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan jalan paling lurus, maka digunakan cara raghbah (dorongan,rangsangan) di tempat yang paling tepat dan digunakan cara ancaman di tempat yang paling tepat.
Siapa yang mengetahui hal ini, jel’alaihissalamah baginya bahwa siapa yang menolak persaksian dan riwayat secara mutlak dari (ahli bid’ah) orang-orang yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bertakwil maka pendapatnya adalah lemah, karena sesungguhnya salaf telah masuk dengan takwil dalam berbagai perkara besar. Dan siapa yang menjadikan orang-orang yang menampakkan bid’ah sebagai imam dalam ilmu dan persaksian yang tidak diingkari dengan hajr dan rada’, maka pendapatnya juga lemah. Demikian pula orang yang shalat di belakang orang yang menampakkan bid’ah dan kefasikan tanpa mengingkari dan tanpa berusaha mengganti dengan yang lebih baik darinya padahal mampu melakukannya, maka pendapatnya lemah. Dan ini memberikan konsekuensi membiarkan kemungkaran yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya, padahal ia mampu mengingkarinya, dan ini tidak boleh. Dan siapa yang mewajibkan mengulangi shalat bagi yang berjamaah bersama imam yang fasik dan ahli bid’ah, maka pendapatnya lemah. Karena sesungguhnya kaum salaf, para pemuka sahabat dan tabi’in shalat di belakang mereka dan hal itu tatkala mereka menjadi pemimpin. Karena inilah, termasuk dasar akidah Ahlus Sunnah: bahwa shalat yang diimami oleh pemerintah, dilaksanakan shalat di belakang mereka, bagaimana pun kondisi mereka, sebagaimana berhaji dan berperang bersama mereka.[35]
[1] Syarh Shahih Muslim, 1/60, dan lihat: at-Taqrib lin Nawawi hal 324.
[2] Abdurrahman bin Yahya bin Ali bin bin Muhammad al-Mu’allimy al-‘Atamy, faqih, muhaddits, wafat di Makkah tahun 1386 H.
[3] At-Tankil 1/228.
[4] Maksudnya pada zaman sahabat, orang yang berbicara para Utsman, Zubair, Thalhah, Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum, mereka menganggapnya sebagai syi’ah yang ghuluw.
[5] Mizanul I’tidal 1/118-119.
[6] Al-Kifayah hal 120.
[7] At-Taqrib hal 324-325
[8] Minhajus Sunnah 1/66-68.
[9] Nuzhatun Nazhar hal. 50.
[10] Tadribur rawi hal 325.
[11] At-Tankil 1/221
[12] Ulumul Hadits hal 103-104.
[13] Al-Kifayah hal. 127.
[14] Al-Kifayah hal. 126-127
[15] As-Sunan Kubra 10/208.
[16] Al-Kifayah hal. 128.
[17] Thabaqah Hanabilah 1/250.
[18] Syarh Sunnah 1/250.
[19] Jami’u Bayanil Ilmi wa fadhlih 2/821.
[20] Majmu’ Fatawa 24/175.
[21] At-Tankil 1/231.
[22] Syarh Sunnah lil Baghawi 1/248-249.
[23] Minhajus Sunnah an-Nabawiyah 1/62-63.
[24] Asy-Syari’ah 454 (2/873-874).
[25] Asy-Syari’ah (2/873-874). Al-Laalika`i dalam Syarh Ushuli I’tiqadi Ahlus Sunnah 1163 (4/644).
[26] Ibid 494 (2/904-905).
[27] Ibid 546 (901-902).
[28] Ibid 166 (1/501)
[29] Masail Imam Ahmad riwayat anaknya Abdullah hal 224.
[30] Tabshiratul Hukkam, Ibnu Farhun 1/426.
[31] Masail Imam Ahmad riwayat Abu Daud hal 286.
[32] Al-Adabus Syar’iyyah 1/276.
[33] Al-Bukhari 6/274 (7097).
[34] Abu Daud 2/632 (4683) dan an-Nasa`i 8/103 (4992).
[35] Minhaju Sunnah Nabawiyah 1/63-66.