Search
Konsep 'Adalah Sahabat menurut Syiah
Menurut kelompok syi'ah, sahabat adalah manusia biasa. Ungkapan tersebut disampaikan oleh Al-Musawi dalam kitabnya Syī’ah fi tārīkh.([1]) At-Tastary Asy-Syī’i juga membenarkannya dan menyatakannya bahwa Sahabat radhiyallahu'anhum, sama dengan manusia yang lain, tidak ada perbedaan sama sekali. Pandangan yang menyatakan Sahabat adalah manusia biasa juga mempengaruhi seorang tokoh Syi’ah Indonesia yaitu Jalaluddin Rakhmat yang mengatakan bahwa Sahabat tidak 'ādil dan tidak jujur.([2]) Masih banyak lagi ungkapan-ungakapan ulama' syiah lainnya, yang sesuai dengan penyataan Muhammad Jawād Al-Mughni’ah bahwa Sahabat ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang adil dan ada yang fasiq,([3]) bahkan kebanyakan mereka adalah tidak 'ādil. Nasruddin At- Tusi mengutarakan bahwa yang memerangi Saidina Ali adalah kafir dan yang menentangnya adalah fasik.([4]) Cara pandang inilah yang menjadi salah satu penyebab kaum Syi’ah mengingkari konsep 'adālah (keadilan) para Sahabat Radhiyallahu’anhum.
Ulama' syiah tidak saja memandang sahabat dengan pandangan negatif, bahkan memandang sahabat dengan keburukan dan kehinaan.
Dalam menafsirkan ayat: 2-3 Surat al-Anfāl al-Kulaini menyebutkan dalam bukunya Uṣūl al-Kāfì yang diriwayatkan dari Ja'far, bahwa semua orang pada zaman Rasulullah murtad (keluar dari islam) sepeninggal Rasulullah e, kecuali beberapa orang saja, Ali bin Abi Thālib, al-Miqdād bin al-Aswad, Abu Dzār al- Ghifāri, Salmān al-Fārisi([5]) dan seorang yang belum pasti yaitu Ammār([6]). Sementara al-Kisysyi menambahkan tiga nama lagi dalam daftar nama sahabat yang tidak murtad pasca meninggalnya Rasulullah e, yaitu: Abu Syāsyan al-Anshari, Abu Amrah, dan Syatirah, sehingga jumlahnya menjadi 7 orang.([7])
Menurut Syiah, para sahabat bukan hanya murtad, bahkan mereka berani merubah syari'at agama([8]) dan suka membantah perintah Nabi e pada masa beliau masih hidup.([9]) Tidak hanya sampai disitu, Syiah juga mengkafirkan kaum muslimin secara keseluruhan tanpa terkecuali, karena mereka (Ahlussunnah) menolak kepemimpinan imam-imam mereka. Padahal, penolakan kepemimpinan imam adalah perbuatan kufur layaknya penolakan kenabian.([10])Al-Kulaini juga menukil sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa orang-orang yang mengaku berhak atas imamah padahal mereka tidak berhak atas imamah tersebut (Abu Bakar, Umar dan Utsman), seluruh orang-orang yang mengingkari imamah, dan setiap orang yang mengaku dirinya muslim sementara kenyataannya tidak, hal demikian bukan golongan Syiah, mereka tidak akan dilihat oleh Allah, tidak akan ditazkiyah, dan bagi mereka azab yang sangat pedih.([11]) Menurut syiah, para sahabat Nabi adalah orang biasa yang dapat berbuat dosa atau maksiat bahkan nifaq dan bisa juga murtad.
Demikian apa yang di utarakan Syiah mengenai sifat 'ādil dan kejujuran para sahabat dalam menyampaikan suatu periwayatan dari Nabi e. Mereka mengatakan bahwa sahabat adalah manusia biasa dan sebahagian mereka tidak bisa dipegang perkataannya dalam menyampaikan periwayatan Nabi kecuali sahabat yang mereka puji seperti imam-imam mereka. Mereka juga sampai menjatuhkan martabat dan sifat terpuji sahabat sehingga mereka buta akan kebenaran. Hal tersebut harus kita ketahui bahwa sahabat Nabi tidak seperti apa yang mereka katakan prihal sahabat Nabi e.
[1] Abdul Rusul Musa al-Musawi, Syi’āh fii Tārikh, (Cairo: Maktabatu Badbuli, 2002), hal. 49, lihat juga, As-Syirazi, Ad-Darajat Ar-Rafi’ah. Menurut As-Syirozi ‘udul lebih kepada keimanan dan penjagaan terhadap wasiat Nabi SAW. sebagaimana yang dilakukan Salman, Abu Dzar dan ‘Ammar.
[2] Jalaluddin Rahmat adalah ketua Ijabi, pernyataan tersebut ditulis dalam pengantar buku Fuad Jabali, Sahabat Nabi, Siapa, ke Mana dan Bagaimana?, hal. Xviii.
[3] Muhammad Jawab Al-Mughniyah, Syi‘ah fiil Mizan, (www.alhasanain.com), hal. 82.
[4] As Sayyid Ali Khan as-Syirazi, al-Darajat al-Rafi'ah Fi Tabaqat as-Syi'ah, (Beirut: 1973), hlm. 33.
[5] Al- Kulaini, Rauḍah Al-Kāfi, (Bairūt: Mansyūrāt al-Fajr, 2007), jld. 8, hal. 245, lihat juga ; Artikel dalam Buletin al –Tanwir Yayasan Muthohhari Edisi Khusus No.298. 10 Muharram 1431 H. hal. 3.
[6] Muhammad bin Mas'ud Al-Iyasyi, Tafsir al-Iyasyi, (Qum: Maktabah al-I'lamiyah, 1308H), jld. 1, hal. 199.
[7] Muhammad bin Umar al-Kisysyi, Rijal al-Kisysyi, (Tehran: Mu'assasah al-I'lami, tt), hal. 11-12.
[8] Artikel dalam Buletin al –Tanwir Yayasan Muthohhari Edisi Khusus No.298. 10 Muharram 1431 H. hal.3.
[9] Jalaluddin Rahmat, Sahabat dalam Timbangan Al- Quran, Sunnah dan Ilmu pengetahuan. (Makassar: PPs UIN Alauddin, 2009), hal. 7.
[10] Muhammad Baqir al-Majlisi, Al-‘Aqaid, ditahqiq oleh Husain Darkahi, (Bairut: Daru Ihya Thuros al-Arabi, 1983), hal. 58.
[11] Al-Kulaini, al-Kafi, bab:"Fihi Nuqot wa Nataf min al-Tanzil fil Wilayah", (Bairūt: Dar At-Taaruf, 1992), jld.12, hal. 323.